Social Icons

Pages

Sabtu, 22 Oktober 2011

Wakaf

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Wakaf
Wakaf secara bahasa adalah Al-Habs (menahan). Kata al-waqf adalah bentuk mazdar dari ungkapan Waqfu Syai’, yang berarti menahan sesuatu. Dengan demikian pengertian wakaf secara bahasa adalah menyerahkan tanah kepada orang-orang miskin –atau untuk orang-orang miskin- untuk ditahan. Diartikan demikian, karena barang milik itu di pegang dan di tahan orang lain, seperti menahan hewan ternak, tanah dan segala sesuatu.[1]
Adapun secara Istilah para ulama berbeda pendapat dalam mengistilahkan definisi wakaf tersebut. mereka mendefinisikan wakaf dengan definisi yang sangat beragam sesuai dengan perbedaan mazhab yang mereka anut.[2]
a.       Mazhab Syafi’i
Imam Nawawi dari kalangan mazhab syafi’I mendefinisikan wakaf  dengan: “menahan harta yang dapat diambil manfaatnya bukan untuk dirinya, sementara benda itu tetap ada. Dan digunakan manfaatnya untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah”.
b.      Mazhab Hanafi
Imam Syarkhasi mendefinisikan wakaf dengan: “Hasbul Mamluukan al-tamlik min al-ghair” menahan harta dari jangkauan (kepemilikan) orang lain.
c.       Mazhab Hambali
Yaitu menahan yang asal dan memberikan hasilnya (Ibn Qudamah)
d.      Mazhab Maliki
Ibn Arafah mendefinisikan wakaf dengan “memberikan manfaat sesuatu, pada batas waktu keberadaannya, bersamaan tetapnya wakaf dalam kepemilikan si pemberinya meski hanya perkiraan.”


2.2 Syarat Wakaf
a.       Waqif (orang yang mewakafkan)[3] Orang merdeka, berakal, baligh, rosyid (bukan orang yang tercegah tasarrufnya) dan Syafiiyyah, Malikiyyah dan Hanafiyyah menambahi dengansatu syarat yaitu ihtiyar (tidak dalam keadaan terpaksa).
b.      Mauquf (barang yang di wakafkan )[4] Harta benda yang bernilai (mal mutaqowwam), dapat diketahui (ma’lum ) dan milik sempurna (tidak dalam keadan khiyar).
c.       Mauquf ‘Alaih (orang yang di wakafi)[5] yaitu adakalanya orang tertentu dan adakalanya umum.
d.      Shighot : Apakah akad wakaf membutuhkan ijab dan qobul?. Ulama sepakat bahwa akad wakaf hanya membutuhkan ijab saja jika untuk wakaf yang ditujukan bagi pihak yang tidak tertentu.(ghoiru mu’ayyan). Adapun wakaf yang ditujukan bagi pihak tertentu (mu’ayyan) ulama berbeda pendapat : Menurut Hanafiyyah dan Hanabilah dalam keadaan seperti itu wakaf hanya membutuhkan ijab saja. Sedangkan menurut Syafiiyyah dan Malikiyyah, mereka masih tetap mensyaratkan adanya ijab dan qobul.
Adapun syarat shigot dalam wakaf[6] adalah: Ta’bid (untuk selama-lamanya), tanjiz (tidak digantungkan kepada kejadian tertentu), ilzam (tidak ada khiyar), tidak disertai syarat yang membatalkan wakaf dan menurut Syafi’iyyah dalam qoul adharnya di tambah dengan adanya penjelasan tentang mashrof  wakaf (orang yang di beri  wakaf).
2.3 Macam-macam Wakaf
1)      Dari segi tujuannya, wakaf bisa dibagi menjadi: ahly/dzurry (kekerabatan), khoiry (sosial) dan musytarok (gabungan anatara keduanya).
2)      Dari segi waktu, wakaf bisa dibagi menjadi: muabbad (selamanya) dan mu’aqqot (dalam jangka waktu tertentu).

Dari segi penggunaan harta yang diwakafkan, wakaf bisa di bagi menjadi: mubasyir/dzati (harta wakaf yang menghasilkan pelayanan masyarakat dan bisa digunakan secara langsung seperti madrasah dan rumah sakit) dan istitsmary (harta wakaf yang ditujukan untuk penanaman modal dalam produksi barang-barang dan pelayanan yang dibolehkan syara’ dalam bentuk apapun kemudian hasilnya diwakafkan sesuai keinginan waqif).[7]
2.4 Dalil Wakaf

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al-Baqarah: 267)
   

Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS. Al-Hajj: 77)

Hadits yang diiriwayatkan oleh Jama’ah; yang mana hadits itu menyebutkan bahwa Umar pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, kemudian ia bertanya (kepada Rasulullah): “Ya Rasulullah, , saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, suatu harta yang belum pernah kudapat sama sekali yang lebih baik bagiku selain tanah itu, lalu apa yang hendak engkau perintahkan kepadaku?” Kemudian Nabi menjawab; “Jika engkau mau, tahanlah pangkalnya dan sedekahkan hasilnya. Kemudian Umar menyedekahkannya dengan syarat tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan. Adapun hasilnya itu disedekahkan untuk orang orang fakir dan keluarga dekat, untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk menjamu tamu, untuk orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan (ibnussabil) dan tidak berdosa orang yang mengurusinya itu untuk memakan sebagiannya dengan cara yang wajar dan untuk memberi makan (kepada keluarganya) dengan syarat jangan dijadikan hak milik.” Dalam satu riwayat disebutkan bahwa harta yang diwakafkan tersebut tidak boleh dikuasai pokoknya (Asy Syaukani, Jilid IV: 127).

2.5 Yurisprudensi Wakaf

1)       Kasus Sengketa Tanah Wakaf Untuk Muenasah di Aceh
Pada tahun 1922, alm. Dadeh bin Ben Blang semasa hidupnya mewakafkan sepetak kebun untuk Meunasah (semacam surau) desa paloh, yang diterima oleh Tgk. Imam haji dayah dan kebun itu terletak di desa paloh, kemukiman Sp. II, Kecamatan Peusangan, Kab Aceh utara. Setelah lama tanah itu diwakafkan kepada meunasah, tepat pada tanggal 31 juli 1984 tanah wakaf tersebut akan dibangun meunasah yang baru oleh masyarakat desa paloh. Namun sebelum pembangunan dimulai, Ja’far bin Ibrahim menyengketakan tanah wakaf tersebut dengan dalih bahwa kakek dan neneknya (dadeh bin blang) tidak pernah mewakafkan tanah kebun keluarganya untuk meunasah. Dalam kasus di atas sengketa tanah wakaf di aceh. Pengadilan Agama Bireuen  memutuskan bahwa tanah itu sudah diwakafkan, yang dalam artian tanah wakaf itu sudah sah menjadi tanah wakaf untuk masyarakat desa paloh untuk membangun meunasah sesuai keinginan alm, Dadeh Bin Blang. Dan setelah melalui proses banding, keputusan tersebut dikukuhkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Tk. 1 Aceh dan selanjutnya oleh Mahkamah Agung.[1][1]

2)       Kasus Sengketa Tanah Wakaf Untuk Kuburan
Penggugat, Abdullah bin luthan umur 59 tahun, pekerjaan imam desa/BHA desa Mns. Tanjong ara, kab. Aceh utara, dengan surat gugatannya tertanggal 19 Desember 1989, terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Lhoksukon, dengan No. 1/G/1990/PA-LSK, telah mengajukan, bahwa dalam tahun 1926, beberapa orang penduduk desa tanjong ara, kec. Tanah jambo aye, yang terdiri dari Ampon A. Wahi, Pa. Tulot, Pr. Katijah, Pr. Ubit, mereka telah secara bersama-sama mewakafkan sebidang tanah kebun untuk tempat pekuburan kaum muslimin desa tanjong ara, serta untuk tempat pendidikan agama islam. Bahwa kebun tersebut, terletak di desa tanjong ara, kec. Tanah jambo aye, kab. Aceh utara. Bahwa kemudian, dalam tahun 1971 oleh M. Nafi Abdullah, beserta beberapa orang anggota masyarakat desa tanjong ara menukarkan tanah wakaf tersebut dengan tanah sawah milik Tgk. Abdurrahman (Tergugat). Oleh sebab itu tanah kebun (wakaf) tersebut sekarang dikuasai oleh tergugat, sedangkan tanah sawah itu dikuasai oleh masyarakat. Bahwa semula pertukaran tersebut dimaksudkan agar tergugat selaku orang yang memiliki pengetahuan agama islam mempergunakan tanah itu sebagai tempat pendidikan agama islam. Akan tetapi ternyata tanah itu tidak di fungsikan sebagai tujuan pemberi wakaf. Bahwa oleh karena hal-hal tersebut, maka penggugat selaku ketua BHA desa tanjong ara memohon pada Pengadilan Agama Lokhsukon agar berkenan menetapkan bahwa tanah kebun terperkara adalah tanah kebun wakaf untuk masyarakat desa tanjong ara, dan memerintahkan tergugat untuk mengembalikan tanah wakaf tersebut kepada masyarakat Desa Tanjong Ara.
Pihak tergugat dalam jawabannya menegaskan, bahwa tanah kebun terperkara sekarang berada dalam kekuasaan tergugat, karena pada tahun 1971 oleh Keuchik Nafi Abdullah selaku Keuchik desa Tanjong Ara, telah menukarkan tanah kebun terperkara dengan tanah sawah milik tergugat yang terletak di desa tanjong ara. Bahwa terjadinya penukaran tanah kebun terperkara dengan tanah sawah tergugat, menurut tergugat adalah sah, karena tanah kebun terperkara bestatus tanah musara, bukan tanah wakaf. Bahwa tergugat berdalih tanah kebun terperkara adalah tanah musara, karena pada suatu saat seorang laki-laki bernama Ampon H. Wahi, mempunyai sebidang tanah kebun lalu di berikannya untuk masyarakat Desa Tanjong Ara. Bahwa kemudian oleh anak-anak Ampon H. Wahi ketika mendirikan rumahnya pada kebun yang terletak berdekatan dengan tanah yang telah diberikan (diwakafkan) untuk kepentingan masyarakat Tanjong Ara tersebut, sebagian rumah yang dibangun itu terkena tanah kebun yang telah di wakafkan, maka oleh Ampon H. Wahisecara bermusyawarah dengan masyarakat desa tanjong ara, memberikan tanah lain untuk kepentingan masyarakat, yaitu tanah miliknya sendiri yang bukan tanah kebun terperkara sekarang.
Perkara ini telah diputuskan oleh Pengadilan Agama Lhoksukon dalam putusannya No. 1/P/1990/PA-LSK dengan menetapkan bahwa tanah terperkara adalah tanah wakaf untuk masyarakat desa tanjong ara dan dalam keputusannya No 210/G/1990/PA/LSK, tanggal 5 Desember 1990 dengan amarnya natara lain, menghukum tergugat untuk menyerahkan tanah wakaf tersebut kepada penggugat sesuai dengan putusan Pengadilan Agama No. 1/P/1990/PA-LSK. Keputusan ini tidak diterima oleh tergugat dan naik banding ke Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh. PTA Banda Aceh dalam putusannya NO 30/1990 telah menguatkan putusan Pengadilan Agama Lhoksukon tersebut. kemudian tergugat mengajukan permohonan Kasa[2][2]si ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung menolak permohonan Kasasi tersebut.








[1] Zein, Satria Effendi M. PROBLEMATIKA HUKUM KELUARGA ISLAM KONTEMPORER Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah. Prenada Media, Jakarta 2004. Hal  411-412
[2] Ibid hal 430-431

[1] Al-kasibi, muhammad abid abdullah. Ahkam Al-Waqf Fi Al-Syari’ah Al-Islamiyah. IIMaN, Jakarta 2003. Hal 37
[2] Ibid hal 38-59
[3] Al-Zuhaili Wahbah Al-Fiqh al-Islami, Dar al-Fikr, Beirut. jilid VIII hal. 156-157
[4] Ibid. Hal 184
[5] Ibid, hal 189
[6] Ibid, hal 157-158
[7] Mundir Qohf. Al-Waqof al-Islami, Dar al-Fikr, Beirut. Jilid 1 hal 158-159

Jumat, 07 Oktober 2011

Menu Gila

Hari ini aku mendapatkan pelajaran yang berharga dalam hidup. Pelajaran yang kuperoleh dari pengalaman bereksperien dari berbagai jenis rempah-rempah. Hal ini kulakukan bukan karena kompetisi aneh yang diajukan gilang ke teman-teman semalam waktu ngopi, tapi karena lidah ini sudah kangen sama makanan khas kampung halamanku.
Sejak dari tadi pagi, tumben-tumbenan diriku disibukkan dengan berbelanja kepentingan dapur. Dan hal ini juga yang pertama kalinya kulakukan, memang ambisi untuk mencoba sesuatu yang baru dalam hidupku sedang meluap sampai ubun-ubun. So, aku cuek aja kala ada mata yang melihat keanehan yang dilakukan oleh diriku dan temanku, asal jangan ada yang berpikiran kita ni pasangan hombreng –bisa-bisa perang dunia ketiga—tapi yah..biarkan orang beranggapan apa, toh realitanya aku mempunyai pekerjaan positif dan pastinya kita bukan pasangan homo (sengaja kupertebal kata bukan, agar menandakan kelelakian kita haha..). Oia sedikit penjelasan, aku berbelanja ditemani oleh Qori yang merupakan teman seorganisasiku.
Ketika berbelanja selesai, aku bergegas menuju markas tercinta untuk memulai acara memasak sesuatu yang –mungkin aneh rasanya—baru.  ‘Time to Start’..apapun kulakukan saat itu, mulai dari ngupas bawang, menguleknya dan mencuci kacang ijo. Berbagai keperluan dalam pembuatan sup kacang ijo kupersiapkan dengan cermat dalam memo yang sudah menempel kuat di otakku. Sambil menunggu matangnya kacang ijo aku mengisi waktu dengan bermain game onet. Saat itu aku masih sendiri di markas, pesaing terkonyolku masih belum dating karena dia masih kuliah. Tapi tak lama kemudian muncullah satu persatu teman-teman organisasiku, mulai dari ganyong, kentung dan terakhir adalah pesaing terkonyolku, yakni Gilang Minorside alias Kudo.
Suasana makin panas ketika dia sudah memulai meracik bumbu makanan yang akan ia masak. Ejek-ejekanpun mulai terjadi, mulai dari bumbu tai kebbo lah, model masakan kayak ibunya si raju temennya rancho lah, sampai pada hai-hai chi ayahnya Jin dalam film tekken. Pokoknya rame dah waktu itu, mana cocotnya si kudo yang tidak ada kampas remnya itu bikin suasana makin cair. Kami pun berlomba bersama, memacu waktu sambil becanda dan mentertawakan racikan bumbu masakan masing-masing.
Sumpah..aku mau ketawa tadi ketika melihat racikan si kudo. Dia kan mau bikin omelet susun yang super gede, tapi kok ya aku heran sama rempah-rempah yang dia buat, semua belanjaan di warung sayur tadi di masukin semua sama dia. Parahnya lagi, udah pake merica satu sendok, eh malah ditambah cabe segenggam tangan dia. Aku gak habis pikir klo sampai keduanya dicampur dan dijadikan bumbu dalam satu makanan, bakalan berapa orang yang bakalan mengantri wc di SC hehe..
Tapi tetap dia sudah punya rekaan, dan aku sebagai lawan tandingnya tidak berhak menghentikan ide gila masakan dia. Cuma aku tadi sedikit menganalisis makanan yang bakal ia buat karena terinspirasi oleh rumah susun (rusun) yang banyak terdapat di daerahnya. Makanya ia bikin kreasi untuk membuat omelet susun yang super gede.
Setelah sekian waktu terlewati dengan canda tawa, akhirnya masakanku yang pertama mateng duluan. Aroma merica yang kebanyakan itu sangat menyengat hidung dan mata, tapi yang namanya manusia suka gak percaya sama apa yang dilihat, termasuk lidah yang tidak mempercayai mata dan hidung berani nekat mencicipi dengan perlahan dan penuh perasaan. Srupp…cicipan pertama sudah memasuki rongga mulut. Dan apa yang kurasakan? Pastinya kalian sudah pada tahu, yaitu masih kurang asin coy dan lidah terasa kaku ketika panas merica terasa. Gila..aku gagal (batinku), tapi biarlah yang penting aku berhasil mencoba sesuatu yang baru dan belum pernah kulakukan. Meski rasanya gak karuan, tapi tetap saja kulahap agar menghormati peluh keringat yang bercucuran. Disamping itu juga karena rasa kangen sama kuliner rumah aku memberanikan diri memakannya sendok demi sendok sampai perut terasa dibakar api. Dan kuhentikan..lalu kupersilahkan audien yang melihat kompetisi kami yang konyol ini untuk mencobanya. ---wuek..kok gini rasanya—kesan orang pertama. --….??...--- tak ada kesan ucapan dari orang kedua, tapi dia menunjukkan ekspresi jelek wajahnya ketika masakan tu menyentuh ujung lidahnya. Dan aku berhipotesa masakanku ancur. Harapan yang semula sangat berharap baik, perlahan harapan itu hancur perlahan dengan reaksi dan sikap anak-anak yang mencicipi tu menu.
Orang ketiga yang bakal mencicipi ni sup sudah datang dan langsung melahapnya. –pean mau buat racikan pencuci perut mas?—komen orang ketiga. Huh..dengan sedikit kecewa karena tak dapat memberikan yang terbaik terasa olehku. Tapi it’s okelah..toh kejujuran merupakan sesuatu yang baik meski gak enak di telinga. Toh tu kan menjadi motivasi tersendiri bagiku agar lebih baek lagi kedepannya dalam memasak menu daerah.
Selesai makananku dikomentari, kita tinggal menunggu hasil dari masakan si kudo yang kala itu sudah di bantu asisten pungutan yakni Omes dan cowoknya. Mereka lagi sibuk menetaskan telor, mengaduk telor dan bumbu yang sudah gilang buat dan sibuk merebus mie instan yang bakal jadi bahan dasar omelet tersebut.  Lama sekali kutunggu kapan masakan kudo tersaji, akhirnya kulebih memilih untuk bermain game lagi sampai para dewan juri yakni Ganyong dan gempur tiba di TKP.
Waktu sudah menunjukkan batas maksimal yang telah ditetapkan yaitu jam 12.30WIB. tapi omelet si kudo masih tak kunjung mateng, berkali-kali kudengar ganyong memperingatkan kalo batas waktu memasak sudah sampai pada yang telah ditetapkan dan disepakati. Tapi yang namanya kudo gak bakalan dia menggubris sindiran ganyong, dia tetap cuek sambil senyam-senyum dengan hiasan khas dia yakni kumisnya yang menggoda sampai-sampai diriku tergoda ingin mengupas tu kumis hehe just kidding!!
Lama menunggu akhirnya tiba juga,, setelah beberapa kejadian menarik terlewati seperti kegosongan dan segala macam tingkah kudo yang bikin tertawa anak-anak, omelet buatannya tersaji dengan aroma menggoda. Sukses dah buat dia, meski sebelumnya dia berkata nyerah untuk masak-masak. Tapi hasil karyanya omelet susun yang tidak sesuai susunannya itu tersaji oke bagi temen-temen. Dari sinilah aku mendapatkan pelajaran baru, yakni memasak bukanlah karena bakat melainkan karena niat. Dan hasil yang dicapai tidak maksimal dan rasa kedua masakan sangat amburadul. Toh tetap kita masuk dalam kategori koki/chief yang berhasil memasak sesuatu yang berbeda, maksudnya berbeda dari lumrahnya koki memasak hehe.
Inilah kejadian penting yang kan menjadi memori tersendiri dalam kenangan pribadiku, kudo dan anak-anak yang menyaksikan kelak. Meski ancur-ancuran, dan tidak dapat dinikmati layaknya masakan lain, ini akan menjadi kesan tersendiri bagi UKM.

Minggu, 02 Oktober 2011

Kata-Kata Mutiara Imam Ali

Sayyidina ‘Ali berkata: Wahai manusia, Bertanyalah padaku sebelum kalian kehilangan aku. Sesungguhnya aku ini lebih mengetahui jalan-jalan langit dari pada jalan-jalan bumi. Bahkan, aku mengetahui sebelum bencana itu terjadi dan menghempaskan impian-impian umat ini.

***
IBADAH
1.      Sesungguhnya ada segolongan orang menyembah allah karena mengharapkan pahala, maka itulah ibadah para pedagang. Adapula segolongan orang menyembah allah karena takut dengan siksa-Nya, maka itulah ibadah para budak. Dan ada segolongan orang menyembah allah karena syukur kepada-Nya, maka itulah ibadah orang-orang merdeka.
2.      Bersabar akan beratnya beribadah akan menaikkanmu kepada kemuliaan mendapatkan keberuntungan besar.
3.      Ibadah paling utama adalah diam dan menanti kelapangan
4.      Kebahagian yang sempurna diperoleh dengan ilmu, sedangkan kebahagian yang diperoleh kurang dengan zuhud. Dan ibadah tanpa didasari ilmu dan kezuhudan hanyalah keletihan badan
5.      Ibadah paling utama adalah menahan diri dari kemaksiatan dan berhenti ketika dihadapkan dengan perkara yang syubhat
6.      Di mana terdapat hikmah, di situlah terdapat ketakutan terhadap Allah; dan di mana terdapat ketakutan kepada-Nya, di situlah terdapat rahmat-Nya.

*
Wanita
1.      Sesungguhnya wanita sangguh menyembunyikan cinta selama empat puluh tahun, namun ia tidak sanggup menyembunyikan kebencian walau sesaat.
2.      Sesungguhnya allah menciptakan wanita dari kelemahan dan aurat. Maka, obatilah kelemahan mereka dengan diam, dan tutupilah aurat itu dengan menempatkannya di rumah
3.      Sebaik-baik perangai wanita adalah seburuk-buruk perangai laki-laki, yaitu: angkuh, penakut, kikir. Jika wanita angkuh, dia tidak akan member kuasa kepada nafsunya. Jika wanita itu kikir, dia akan menjaga hartanya dan harta suaminya. Dan jika wanita itu penakut, dia akan takut pada segala sesuatu yang menimpanya
4.      Janganlah kalian menikahi wanita karena kecantikannya, karena mungkin saja kecantikannya akan membinasakannya. Dan jangan pula kalian menikahi wanita karena hartanya, karena mungkin saja hartanya akan menjadikannya bersikap sewenang-wenang. Akan tetapi, nikahilah wanita itu karena agamanya. Sungguh, seorang budak hitam yang putus hidungnya, tetapi kuat agamanya, dia lebih utama.
5.      Aib yang ada pada seorang wanita akan terus ada selamanya. Aib ini juga akan menimpa anak-anaknya setelah menimpa ayah mereka
6.      Kecemburuan seorang wanita adalah kekufuran, sedangkan kecemburuan seorang laki-laki adalah keimanan


Nasihat
1.      Perhatikanlah orang yang memberikan nasihat kepadamu. Seandainya dia memulai dari sisi yang merugikan orang banyak, maka janganlah engkau menerima nasihatnya dan berhati-hatilah darinya. Akan tetapi, jika dia memulai dari sisi keadilan dan kebaikan (orang banyak), maka terimalah nasihatnya itu.
2.      Janganlah engkau meninggalkan pemebrian nasihat kepada keluargamu, karena sesungguhnya engkau bertanggung jawab atas mereka
3.      Berikanlah nasihat yang tulus kepada saudaramu, baik itu dalam hal yang baik maupun buruk
4.      Tidaklah memahami pembicaraanmu orang yang lebih senang berbicara kepadamu daripada mendengarkan pembicaraanmu. Tidaklah mengetahui nasihatmu orang yang hawa nafsunya mengalahkan pendapatmu. Dan tidaklah menerima argumentasimu orang yang berkeyakinan bahwa dia lebih sempurna dari pada kamu tentang pengetahuan yang engkau sampaikan kepadanya.