Jujur..aku paling tidak suka melihat orang-orang Islam mengcemooh agamanya sendiri, menghina dan menggugat hukum-hukum yang telah ditetapkannya. Meski aku bukan orang yang agamis atau orang yang taat terhadap agama. Aku peling benci melihat hal-hal seperti itu di depan mataku. Aku kasihan sama mereka, tidak ada gunanya bertitel selangit, toh semua itu hanya membuat mereka melenceng jauh dari agama ini. dengan senangnya mereka menjual agama Islam dengan mata uang dunia. Sungguh kelam kehidupannya.
*
Semua berawal dari aku semester tiga. Berbagai macam doktrin akan hal itu kurasakan. Namun aku masih terbilang belum sensitif tentang hal itu. Jadi, kubiarkan mereka berkreasi dengan sendirinya. Tapi, lambat laun pengaruh doktrin itu berdampak pada teman-teman sekelas yang sudah mulai menghina dan menolak hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Aku baru menyadari semua itu, dan mulai peka dengan keadaan seperti ini setelah aku bergabung dalam sebuah komunitas yang kata mereka (teman sekelas) adalah komunitas Islam fundamental.
Dari situ aku menyadari kenapa teman akrabku sampai rela berpindah jurusan meski kuliahnya akan molor. Ternyata alasannya sama seperti yang aku alami. Tidak betah dengan doktrin-doktrin yang merusak Islam. Hal ini kuketahui ketika aku berkeluh kesah padanya.
“Yan..aku sekarang sedang kesal dan benci terhadap tindakan para dosen, mereka sungguh keterlaluan dan sangat kelewat sampai-sampai ayat hukum potong tangan dikatakan sebagai hukum kuno yang berasal dari produk budaya arab, dan tidak cocok jika diterapkan di negeri ini.” keluhku pada yanto. “Sungguh, aku berharap mereka cepat insyaf, jika tidak aku berdo’a semoga allah mencabut nyawa mereka agar mereka cepat sadar akan tindakan mereka di Akhirat nanti.” Lanjutku.
Yanto yang sedang khusuk membaca buku itu akhirnya mau angkat bicara, dengan sedikit senyum ia menjawab kuluhku padanya.
“Istighfar..jangan mendo’akan yang jelek-jelek, meski demikian mereka adalah orang Islam. Jika mereka sampai kelewat menggugat hukum Allah, do’akan saja semoga hidayah menghampiri mereka.” Jawabnya tenang.
Mendengar tanggapan yanto, aku akhirnya sadar jika semestinya aku tidak sampai kelewat seperti ini, sampai-sampai mendo’akan mereka agar dicabut nyawanya. Aku beristighfar menyadari kekeliruanku.
“Mereka hanyalah orang-orang yang mencari celah hukum, aku sadar mereka telah terpengaruh dari para pemikir non Islam yang memang berusaha untuk menghancurkan Islam dari dalam, kamu tahu sendirikan..apa yang disebut ‘Ghazwatul fikr’? ya seperti inilah. Mereka telah diperbudak akal mereka, mereka lebih mengutamakan rasio, tidak mengutamakan manfaat dari hukum allah yang akan berdampak apa nantinya jika diterapkan.”
Penjelasan yanto menyadarkanku akan apa yang telah kuketahui , yaitu ‘Ghazwatul Fikr’ (Perang Pemikiran). Sungguh kejam dan memang sangat berbahaya mengingat perang pemikiran tersebut.
“Kamu tahu, apa alasanku pindah jurusan?”
Aku hanya diam tanpa bisa menjawab apa yang ditanyakan yanto padaku.
“Alasanku pindah tidak tahan mendengar doktrin yang melecehkan Islam.” Jawabnya.
Dari perbincangan ini aku akhirnya aku tahu alasan teman akrabku ini rela pindah meski mengandung banyak resiko yang akan didapatnya. Dan aku tahu, kepindahan dia bukan dilandaskan pada ketidak mauan dia akan ‘Balligu ‘Anni Walau Ayah’. Tapi karena sudah tidak ada cara lain untuk mengembalikan pemikiran mereka pada Islam yang Kaffah.
Aku kembali teringat pada sabda Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadits yang berbunyi ‘Islam itu datangnya asing, dan kelak (diakhir zaman) akan kembali asing’. Mungkin inilah yang disebut asing tersebut. Wallahu A’lam.
**
Hari-hariku kuliah sekarang tidak lagi berfokus pada keaktifan di kelas, tidak lagi fokus pada orientasi nilai. Aku lebih memilih diam tanpa banyak bicara di kelas. Tidak seperti semester-semester sebelumnya, yang masih aktif berdialog serta berdebat dengan teman ataupun dosen di kelas. Kehadiranku di kelas tidak lebih dan tidak kurang hanya untuk memenuhi tuntutan absen. Doktrin-doktrin yang setiap hari kudengarkan, tidak lagi kumasukkan ke dalam hati. Kubiarkan begitu saja dan kuanggap seperti angin yang berlalu. Aku tidak mau lagi menggugat doktrin melecehkan itu karena hal itu akan berdampak pada nilaiku yang bakal tidak mereka luluskan nanti. Prinsipku sekarang ibarat seperti batu, meski angin mencoba merobohkan dan menggeser kedudukanku. Tapi tetap saja aku akan diam tanpa memperlihatkan perlawanan sedikitpun.
Kujalani hari-hariku untuk kuliah, hanya sebagai formalitas belaka demi mengejar title Sarjana. Dalam pikiranku, meski kelak aku Sarjana pun, tidak ada yang dapat aku banggakan dari pengalaman kuliahku apalagi title sarjanaku, semua hanya omong kosong..!!
***
Memasuki semester 7, tekanan batin yang sering kualami ketika berada di kelas mulai pupus dari diriku. Meski aku kembali lagi dipertemukan dengan dosen yang selalu mendoktrin pikiran anak-anak. Tapi hal itu tidak membuatku resah. Karena aku tahu dia tidak akan mengajar penuh pada semester ini dikarenakan dia akan menunaikan Ibadah Haji tahun ini. Hari pertama perkuliahan dosen tersebut, hanya diisi dengan acara perkenalan mata kuliah dan berlanjut pada permohonan maaf beliau karena tidak bisa mengajar penuh pada semester ini. kelangsungan kuliah kita hanya dibebani sebuah tugas rumah (Teks Home), dalam pertemuan terakhir dengan beliau sebelum keberangkatannya ke kota Mekkah, beliau berpesan singkat pada kami “Tolong, tugas itu dikerjakan sebaik mungkin, karena nilai akhir perkuliahan ini diambil dari tugas itu.” Selesai berpesan, perkuliahan kami di tutup dengan ucapan salam.
Aku sungguh senang, melihat hal itu di depan mataku. Bukan karena aku libur kuliah, tapi karena aku tidak akan mendengarkan lagi kata-kata beliau yang selalu melecehkan hukum Islam selama setengah tahun ini. ‘Alhamdulillah’..kuucapkan syukur ini akan takdir yang sudah ditentukan!! Dalam hati aku berkata ‘Akhirnya aku terbebas dari kata-kata yang tidak bertanggung jawab.’ Saatnya aku berlibur dari sakit hati ini yang selalu melanda ketika aku diajar oleh beliau. Dan tak kan ada lagi penggugatan kepada hukum Allah selama satu semester ini.’
****
Tidak terasa, satu semester sudah mau selesai. Dosen yang kubenci sudah datang dari tanah suci Mekkah. Tugas yang pernah ia berikan di awal semester sudah kurampungkan beberapa minggu lalu. Sekarang tinggal mengumpulkannya pada beliau pada hari yang telah ditentukan di jadwal UAS. Aku mencoba mencari tahu anak-anak kepastian jadwal tersebut apakah tidak ada perubahan? Mereka hanya menganggukkan kepala pertanda jadwal itu sudah pasti.
Selang beberapa jam aku mendapatkan sebuah sms dari ketua kelas yang berinformasikan
“Sekedar Info..untuk pengumpulan tugas mata kuliah hukum Islam di kumpulkan besok jam 08.00WIB di kelas. Terima Kasih!!” Setelah membaca pesan singkat ini, aku hanya mengelengkan kepala.
“Dasar jam karet..baru saja kutanyakan kepastiannya kapan,,eh sudah diganti besok.” Gumamku dalam hati “Tapi gak apa-apalah, lebih cepat lebih baik.”
****
Keesokan harinya, aku langsung menuju kampus tepat pada pukul 08.00WIB untuk mengumpulkan tugas ini, sebagaimana yang telah diinfokan sebelumnya. Tidak banyak yang kubawa, hanya sebuah tas cangklong kecil yang berisi lembaran tugas dan sebuah bolpoin. Sesampai di kampus, aku bertemu dengan teman-teman yang sedang bergerombol di depan fakultas. Aku menghampiri mereka dan ikut bergabung dalam gerombolan itu berharap mengetahui sesuatu. Tapi ternyata, tidak ada hal yang penting, hanya sebatas cerita-cerita kecil mereka yang kuketahui dalam mengerjakaan tugas tersebut dengan mengcopy paste dari Internet. Aku hanya tersenyum kecil melihat aksi ejek teman-teman.
Ketika hendak memasuki kelas, aku dikagetkan dengan sesosok yang kukenal. Yah..tidak salah lagi, sesosok itu adalah dosen mata kuliah ini. sedang apa beliau berada dalam kelas? Apakah beliau masih rindu mengajar dan mendoktrin anak-anak? Berbagai macam pertanyaan berkelabat dalam pikiranku. Kembali lagi hati ini bergemuruh, aku tidak tahu bakal terjadi apa selanjutnya. Resah kembali datang pada diriku, ketakutan dan ketidak nyamanan kembali kurasa saat itu. Dal hati aku berdoa “Semoga tidak terjadi hal seperti yang kubayangkan.”
Dengan wajah yang kembali kusut aku memasuki kelas. Keceriaanku selama satu semester seolah terenggut oleh kekelaman hari ini. sungguh sangat tidak diharapkan dan tidak dapat dibayangkan sebelumnya, kalau dosen ini kembali lagi bersua dengan kami di kelas. Aku memilih duduk di belakang berharap tidak terlalu mendengarkan hal yang sangat menyakiti hati. Aku terdiam melihat wajah beliau yang sedang duduk di depan. Seketika aku menilai, ada perubahan pada diri beliau. Wajahnya teduh, cerah dan kembangan senyumnya menandakan seolah bukan dia yang sesungguhnya. Kusimak perlahan kata-kata beliau meski tidak sepenuh hati. Ternyata beliau menceritakan pengalaman spiritual yang tinggi di tanah suci berikut dengan pengalaman menarik yang ia peroleh di sana.
Aku mendengarkan dengan seksama, mulai dari cerita tawaf, jumrah hingga pada haji wada’. Tak terasa cerita itu sudah kudengarkan sampai satu jam lamanya. Kebencianku seolah sirna dalam cerita tanah suci. Dan tanpa kubayangkan sedikitpun, diakhir cerita beliau berkata:
“Di Mekkah,,banyak saya lihat orang dengan tangan yang buntung akibat dari kasus pencurian. Saya melihat sungguh kasihan, tapi itulah resiko yang harus ditanggung di sana. Tidak ada toleransi terhadap tindak kriminal. Tapi ini sungguh efektif, hukuman ini tidak hanya bikin jera bagi si pelaku, juga bikin orang yang lihat di sekelilingnya merasa enggan untuk melakukan kejahatan. Saya berharap hukum ini dapat diterapkan di Negara ini. tapi apakah ada yang mau mendukungnya?? Wallahu a’lam..!! ”
Terdiam, kami semua terdiam. Aku tidak menyangka ‘Haromain’ telah merubah pola fikirnya, aku tidak menyangka perkataan beliau berbalik 180 derajat dari sebelum-sebelumnya. Apakah beliau mendapatkan hidayah disana? Apakah haji beliau mabrurkah? Aku tidak tahu. Semua itu masih misteri dan tidak dapat dijawab olehku. Namun yang pasti, penjelasan akhir beliau ibarat ‘senandung tilawah’ yang sangat menyejukkan hati. Mataku berkaca karena senang. Bibirku terkatup rapat menyimak penjelasan itu. Hati ini berdebar ingin meneriakkah takbir. Allahu Akbar!!
Selesai