Tau gak apa corak lebaran kali ini? semua pasti sudah menerka apa
coraknya, yakni ‘berbeda’. Yup..lebaran kita kali ini mengalami perbedaan dalam
perayaan dan penetapan 1 syawalnya. Hal ini sudah lumrah dan dapat dimaklumi
dalam dunia per-Falak-an. Perbedaan dalam menentukan awal bulan, khususnya
bulan syawal terletak pada rukyat hilal.
Menurut Murtadlo Lajnah Falakiah Malang, terjadinya perbedaan
tersebut dikarenakan antar perukyat satu dengan yang lainnya adalah ufuk. Maksudnya
adalah setiap tempat tidak menutup kemungkinan hilal akan tertutp oleh ufuk. Contoh
missal adalah ketika di Gresik Jawa timur Melihat Hilal pada pukul 17.22 WIB
dengan ketinggian 2 Derajat, belum tentu yang di Jepara akan melaihat hilal
yang sama. Bisa saja mereka tidak melihat dikarenakan hilal tersebut tertutup
oleh ufuk. Bisa dipahami penjelasannya?
Seperti itulah masalah yang selalu dihadapi oleh perukyat. Untuk mengantisipasi
rasa ragu dalam penentuan awal bulan syawal ada sebagian mengistikmalkan puasa
romadhon menjadi 30 hari. Hal ini sering kita jumpai dalam putusan kementrian
agama RI ketika menghadapi perbedaan awal syawal seperti pada lebaran kemarin. Memang
istikmal merupakan jalan terakhir mengatasi keragu-raguan dalam penentapan 1
syawal ketika Lajnah falakiah yang tersebar di Nusantara tidak melihatnya.
Namun akan berakibat fatal (Berdosa) ketika istikmal itu keliru, dalam artian jika
sebagian perukyat sudah melihat hilal itu sudah muncul di atas 1 derajat terus
pemerintah malah memilih untuk istikmal dikarenakan yang melihat hilal hanya
sedikit dibandingkan dengan yang tidak melihatnya. Maka hal ini akan berefek
pada dosa karena menyuruh rakyat puasa dikala lebaran sudah menjelma.
Ridwan Saidi mengatakan dalam sebuah stasiun televisi terkemuka di
Negeri ini: “Saya berlebaran hari selasa bukan karena saya orang Muhammadiyah. tapi saya mengikuti orang yang melihat hilal. pertimbangannya adalah jika yang 29 hari itu keliru maka bagi yang mengambil
puasa 29 hari punya hutang 1 kali puasa. Namun jika yang mengambil istikmal
karena mengikuti pemerintah, terus ternyata keliru. Maka berakibat berdosanya
pemerintah karena memerintah rakyat untuk berpuasa ketika lebaran”
Pernyataan dan apa yang dianut ridwan saidi tentunya tidak hanya
sebatas taqlid/fanatik terhadap sesuatupun. Ia mengikuti lebaran yang 29 hari
bukan karena dia orang Muhammadiyah. Dia mengambil keputusan karena kiyai
kampungnya yang merupakan orang yang mahir dalam ilmu falak berkata bahwa
ramadhan tahun ini 29 hari dan 1 syawal jatuh pada hari selasa.
Melihat pendapat ridwan yang merupakan budayawan tersebut masuk
akal juga. Lebih baik punya hutang satu hari puasa disbanding dengan berpuasa
dikala lebaran. Meski dia bukan tokoh agama, namun pendapat dia mestinya perlu
kita resapi. Apalagi terkait masalah pemerintah, dalam perbincangannya yang
lain, ia menyinggung bahwa seharusnya pemerintah tidak boleh menginterfensi
agama. Sebagaimana kita ketahui dalam tiap tahunnya. Karena agama bukan urusan
pemerintah, melainkan urusan kita masing-masing.
Terkait masalah perbedaan penentuan 1 syawal, bagi orang yang
mengambil istikmal mengatakan “kita mengikuti pemerintah karena ‘Athi’u
Allah wa ‘athi’u ar-rasul wa ulil amri mingkum’.” Landasan seperti ini juga
tidak sepenuhnya kita salahkan, karena urusan salah dan benar adalah kuasa
tuhan. Cuma landasan seperti ini perlu diklarifikasi. Pemerintah yang bagaimana
yang patut kita ikuti dan kita harus tunduk? Jika pemerintahnya mencampur
adukkan antara haq dan bathil apakah pemerintah model seperti ini patut untuk
kita ikuti? Jawabannya adalah tidak.
Sama halnya ketika Kementrian Agama menetapkan 1 Syawal jatuh pada
hari Rabu, sedangkan sebagian rakyat di Jakarta Timur dan Jepara sudah jelas
melihat hilal pada mala tgl 30 Agustus. Terus pemerintah lebih memilih
mengistikmalkan puasa menjadi 30 hari merupakan tindakan yang bathil karena
lebih mengutamakan hukum demokrasi dibandingkan hukum Islam yang mengatakan ‘jika
hilal terlihat maka berbukalah’. Hal seperti inilah yang saya maksud perlu
adanya klarifikasi terkait masalah di atas.
Sekali lagi, saya menulis tentang ini bukan dilandaskan pada
Muhammadiyah atau bukan. Tapi karena dilandaskan pada apa yang saya ketahui
lewat mata kuliah Ilmu Falak. Sebelum mengakhiri tulisan ini, mengutip kembali
dari perkataan Ridwan Saidi ‘Yang puasa hari rabu tergolong Negara yang
terpuruk, seperti Somalia dan sebagainya, sedangkan negara yang maju mengambil
lebaran hari selasa seperti Mesir dan Arab Saudi’
Inilah secuil dari apa yang kualami ketika malam lebaran. Memang perbedaan
merupakan rahmat dan sebagai pewarna dalam Islam itu sendiri. Tapi jika pewarna
ini dirusak dengan kepentingan politik dan peperangan dalam tubuh Islam, maka
hal ini akan berakibat fatal. Semoga pemerintah mau mendengarkan apa yang sudah
diutarakan olek Ridwan Saidi dan kembali menganalisa kesalahan diri agar
seterusnya hal ini dapat di atasi dan diserempakkan ketika menentukan awal
syawal. Terima kasih
Wallahu A’lam Bis Showab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar