Social Icons

Pages

Sabtu, 22 Oktober 2011

Wakaf

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Wakaf
Wakaf secara bahasa adalah Al-Habs (menahan). Kata al-waqf adalah bentuk mazdar dari ungkapan Waqfu Syai’, yang berarti menahan sesuatu. Dengan demikian pengertian wakaf secara bahasa adalah menyerahkan tanah kepada orang-orang miskin –atau untuk orang-orang miskin- untuk ditahan. Diartikan demikian, karena barang milik itu di pegang dan di tahan orang lain, seperti menahan hewan ternak, tanah dan segala sesuatu.[1]
Adapun secara Istilah para ulama berbeda pendapat dalam mengistilahkan definisi wakaf tersebut. mereka mendefinisikan wakaf dengan definisi yang sangat beragam sesuai dengan perbedaan mazhab yang mereka anut.[2]
a.       Mazhab Syafi’i
Imam Nawawi dari kalangan mazhab syafi’I mendefinisikan wakaf  dengan: “menahan harta yang dapat diambil manfaatnya bukan untuk dirinya, sementara benda itu tetap ada. Dan digunakan manfaatnya untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah”.
b.      Mazhab Hanafi
Imam Syarkhasi mendefinisikan wakaf dengan: “Hasbul Mamluukan al-tamlik min al-ghair” menahan harta dari jangkauan (kepemilikan) orang lain.
c.       Mazhab Hambali
Yaitu menahan yang asal dan memberikan hasilnya (Ibn Qudamah)
d.      Mazhab Maliki
Ibn Arafah mendefinisikan wakaf dengan “memberikan manfaat sesuatu, pada batas waktu keberadaannya, bersamaan tetapnya wakaf dalam kepemilikan si pemberinya meski hanya perkiraan.”


2.2 Syarat Wakaf
a.       Waqif (orang yang mewakafkan)[3] Orang merdeka, berakal, baligh, rosyid (bukan orang yang tercegah tasarrufnya) dan Syafiiyyah, Malikiyyah dan Hanafiyyah menambahi dengansatu syarat yaitu ihtiyar (tidak dalam keadaan terpaksa).
b.      Mauquf (barang yang di wakafkan )[4] Harta benda yang bernilai (mal mutaqowwam), dapat diketahui (ma’lum ) dan milik sempurna (tidak dalam keadan khiyar).
c.       Mauquf ‘Alaih (orang yang di wakafi)[5] yaitu adakalanya orang tertentu dan adakalanya umum.
d.      Shighot : Apakah akad wakaf membutuhkan ijab dan qobul?. Ulama sepakat bahwa akad wakaf hanya membutuhkan ijab saja jika untuk wakaf yang ditujukan bagi pihak yang tidak tertentu.(ghoiru mu’ayyan). Adapun wakaf yang ditujukan bagi pihak tertentu (mu’ayyan) ulama berbeda pendapat : Menurut Hanafiyyah dan Hanabilah dalam keadaan seperti itu wakaf hanya membutuhkan ijab saja. Sedangkan menurut Syafiiyyah dan Malikiyyah, mereka masih tetap mensyaratkan adanya ijab dan qobul.
Adapun syarat shigot dalam wakaf[6] adalah: Ta’bid (untuk selama-lamanya), tanjiz (tidak digantungkan kepada kejadian tertentu), ilzam (tidak ada khiyar), tidak disertai syarat yang membatalkan wakaf dan menurut Syafi’iyyah dalam qoul adharnya di tambah dengan adanya penjelasan tentang mashrof  wakaf (orang yang di beri  wakaf).
2.3 Macam-macam Wakaf
1)      Dari segi tujuannya, wakaf bisa dibagi menjadi: ahly/dzurry (kekerabatan), khoiry (sosial) dan musytarok (gabungan anatara keduanya).
2)      Dari segi waktu, wakaf bisa dibagi menjadi: muabbad (selamanya) dan mu’aqqot (dalam jangka waktu tertentu).

Dari segi penggunaan harta yang diwakafkan, wakaf bisa di bagi menjadi: mubasyir/dzati (harta wakaf yang menghasilkan pelayanan masyarakat dan bisa digunakan secara langsung seperti madrasah dan rumah sakit) dan istitsmary (harta wakaf yang ditujukan untuk penanaman modal dalam produksi barang-barang dan pelayanan yang dibolehkan syara’ dalam bentuk apapun kemudian hasilnya diwakafkan sesuai keinginan waqif).[7]
2.4 Dalil Wakaf

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al-Baqarah: 267)
   

Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS. Al-Hajj: 77)

Hadits yang diiriwayatkan oleh Jama’ah; yang mana hadits itu menyebutkan bahwa Umar pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, kemudian ia bertanya (kepada Rasulullah): “Ya Rasulullah, , saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, suatu harta yang belum pernah kudapat sama sekali yang lebih baik bagiku selain tanah itu, lalu apa yang hendak engkau perintahkan kepadaku?” Kemudian Nabi menjawab; “Jika engkau mau, tahanlah pangkalnya dan sedekahkan hasilnya. Kemudian Umar menyedekahkannya dengan syarat tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan. Adapun hasilnya itu disedekahkan untuk orang orang fakir dan keluarga dekat, untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk menjamu tamu, untuk orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan (ibnussabil) dan tidak berdosa orang yang mengurusinya itu untuk memakan sebagiannya dengan cara yang wajar dan untuk memberi makan (kepada keluarganya) dengan syarat jangan dijadikan hak milik.” Dalam satu riwayat disebutkan bahwa harta yang diwakafkan tersebut tidak boleh dikuasai pokoknya (Asy Syaukani, Jilid IV: 127).

2.5 Yurisprudensi Wakaf

1)       Kasus Sengketa Tanah Wakaf Untuk Muenasah di Aceh
Pada tahun 1922, alm. Dadeh bin Ben Blang semasa hidupnya mewakafkan sepetak kebun untuk Meunasah (semacam surau) desa paloh, yang diterima oleh Tgk. Imam haji dayah dan kebun itu terletak di desa paloh, kemukiman Sp. II, Kecamatan Peusangan, Kab Aceh utara. Setelah lama tanah itu diwakafkan kepada meunasah, tepat pada tanggal 31 juli 1984 tanah wakaf tersebut akan dibangun meunasah yang baru oleh masyarakat desa paloh. Namun sebelum pembangunan dimulai, Ja’far bin Ibrahim menyengketakan tanah wakaf tersebut dengan dalih bahwa kakek dan neneknya (dadeh bin blang) tidak pernah mewakafkan tanah kebun keluarganya untuk meunasah. Dalam kasus di atas sengketa tanah wakaf di aceh. Pengadilan Agama Bireuen  memutuskan bahwa tanah itu sudah diwakafkan, yang dalam artian tanah wakaf itu sudah sah menjadi tanah wakaf untuk masyarakat desa paloh untuk membangun meunasah sesuai keinginan alm, Dadeh Bin Blang. Dan setelah melalui proses banding, keputusan tersebut dikukuhkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Tk. 1 Aceh dan selanjutnya oleh Mahkamah Agung.[1][1]

2)       Kasus Sengketa Tanah Wakaf Untuk Kuburan
Penggugat, Abdullah bin luthan umur 59 tahun, pekerjaan imam desa/BHA desa Mns. Tanjong ara, kab. Aceh utara, dengan surat gugatannya tertanggal 19 Desember 1989, terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Lhoksukon, dengan No. 1/G/1990/PA-LSK, telah mengajukan, bahwa dalam tahun 1926, beberapa orang penduduk desa tanjong ara, kec. Tanah jambo aye, yang terdiri dari Ampon A. Wahi, Pa. Tulot, Pr. Katijah, Pr. Ubit, mereka telah secara bersama-sama mewakafkan sebidang tanah kebun untuk tempat pekuburan kaum muslimin desa tanjong ara, serta untuk tempat pendidikan agama islam. Bahwa kebun tersebut, terletak di desa tanjong ara, kec. Tanah jambo aye, kab. Aceh utara. Bahwa kemudian, dalam tahun 1971 oleh M. Nafi Abdullah, beserta beberapa orang anggota masyarakat desa tanjong ara menukarkan tanah wakaf tersebut dengan tanah sawah milik Tgk. Abdurrahman (Tergugat). Oleh sebab itu tanah kebun (wakaf) tersebut sekarang dikuasai oleh tergugat, sedangkan tanah sawah itu dikuasai oleh masyarakat. Bahwa semula pertukaran tersebut dimaksudkan agar tergugat selaku orang yang memiliki pengetahuan agama islam mempergunakan tanah itu sebagai tempat pendidikan agama islam. Akan tetapi ternyata tanah itu tidak di fungsikan sebagai tujuan pemberi wakaf. Bahwa oleh karena hal-hal tersebut, maka penggugat selaku ketua BHA desa tanjong ara memohon pada Pengadilan Agama Lokhsukon agar berkenan menetapkan bahwa tanah kebun terperkara adalah tanah kebun wakaf untuk masyarakat desa tanjong ara, dan memerintahkan tergugat untuk mengembalikan tanah wakaf tersebut kepada masyarakat Desa Tanjong Ara.
Pihak tergugat dalam jawabannya menegaskan, bahwa tanah kebun terperkara sekarang berada dalam kekuasaan tergugat, karena pada tahun 1971 oleh Keuchik Nafi Abdullah selaku Keuchik desa Tanjong Ara, telah menukarkan tanah kebun terperkara dengan tanah sawah milik tergugat yang terletak di desa tanjong ara. Bahwa terjadinya penukaran tanah kebun terperkara dengan tanah sawah tergugat, menurut tergugat adalah sah, karena tanah kebun terperkara bestatus tanah musara, bukan tanah wakaf. Bahwa tergugat berdalih tanah kebun terperkara adalah tanah musara, karena pada suatu saat seorang laki-laki bernama Ampon H. Wahi, mempunyai sebidang tanah kebun lalu di berikannya untuk masyarakat Desa Tanjong Ara. Bahwa kemudian oleh anak-anak Ampon H. Wahi ketika mendirikan rumahnya pada kebun yang terletak berdekatan dengan tanah yang telah diberikan (diwakafkan) untuk kepentingan masyarakat Tanjong Ara tersebut, sebagian rumah yang dibangun itu terkena tanah kebun yang telah di wakafkan, maka oleh Ampon H. Wahisecara bermusyawarah dengan masyarakat desa tanjong ara, memberikan tanah lain untuk kepentingan masyarakat, yaitu tanah miliknya sendiri yang bukan tanah kebun terperkara sekarang.
Perkara ini telah diputuskan oleh Pengadilan Agama Lhoksukon dalam putusannya No. 1/P/1990/PA-LSK dengan menetapkan bahwa tanah terperkara adalah tanah wakaf untuk masyarakat desa tanjong ara dan dalam keputusannya No 210/G/1990/PA/LSK, tanggal 5 Desember 1990 dengan amarnya natara lain, menghukum tergugat untuk menyerahkan tanah wakaf tersebut kepada penggugat sesuai dengan putusan Pengadilan Agama No. 1/P/1990/PA-LSK. Keputusan ini tidak diterima oleh tergugat dan naik banding ke Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh. PTA Banda Aceh dalam putusannya NO 30/1990 telah menguatkan putusan Pengadilan Agama Lhoksukon tersebut. kemudian tergugat mengajukan permohonan Kasa[2][2]si ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung menolak permohonan Kasasi tersebut.








[1] Zein, Satria Effendi M. PROBLEMATIKA HUKUM KELUARGA ISLAM KONTEMPORER Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah. Prenada Media, Jakarta 2004. Hal  411-412
[2] Ibid hal 430-431

[1] Al-kasibi, muhammad abid abdullah. Ahkam Al-Waqf Fi Al-Syari’ah Al-Islamiyah. IIMaN, Jakarta 2003. Hal 37
[2] Ibid hal 38-59
[3] Al-Zuhaili Wahbah Al-Fiqh al-Islami, Dar al-Fikr, Beirut. jilid VIII hal. 156-157
[4] Ibid. Hal 184
[5] Ibid, hal 189
[6] Ibid, hal 157-158
[7] Mundir Qohf. Al-Waqof al-Islami, Dar al-Fikr, Beirut. Jilid 1 hal 158-159

Jumat, 07 Oktober 2011

Menu Gila

Hari ini aku mendapatkan pelajaran yang berharga dalam hidup. Pelajaran yang kuperoleh dari pengalaman bereksperien dari berbagai jenis rempah-rempah. Hal ini kulakukan bukan karena kompetisi aneh yang diajukan gilang ke teman-teman semalam waktu ngopi, tapi karena lidah ini sudah kangen sama makanan khas kampung halamanku.
Sejak dari tadi pagi, tumben-tumbenan diriku disibukkan dengan berbelanja kepentingan dapur. Dan hal ini juga yang pertama kalinya kulakukan, memang ambisi untuk mencoba sesuatu yang baru dalam hidupku sedang meluap sampai ubun-ubun. So, aku cuek aja kala ada mata yang melihat keanehan yang dilakukan oleh diriku dan temanku, asal jangan ada yang berpikiran kita ni pasangan hombreng –bisa-bisa perang dunia ketiga—tapi yah..biarkan orang beranggapan apa, toh realitanya aku mempunyai pekerjaan positif dan pastinya kita bukan pasangan homo (sengaja kupertebal kata bukan, agar menandakan kelelakian kita haha..). Oia sedikit penjelasan, aku berbelanja ditemani oleh Qori yang merupakan teman seorganisasiku.
Ketika berbelanja selesai, aku bergegas menuju markas tercinta untuk memulai acara memasak sesuatu yang –mungkin aneh rasanya—baru.  ‘Time to Start’..apapun kulakukan saat itu, mulai dari ngupas bawang, menguleknya dan mencuci kacang ijo. Berbagai keperluan dalam pembuatan sup kacang ijo kupersiapkan dengan cermat dalam memo yang sudah menempel kuat di otakku. Sambil menunggu matangnya kacang ijo aku mengisi waktu dengan bermain game onet. Saat itu aku masih sendiri di markas, pesaing terkonyolku masih belum dating karena dia masih kuliah. Tapi tak lama kemudian muncullah satu persatu teman-teman organisasiku, mulai dari ganyong, kentung dan terakhir adalah pesaing terkonyolku, yakni Gilang Minorside alias Kudo.
Suasana makin panas ketika dia sudah memulai meracik bumbu makanan yang akan ia masak. Ejek-ejekanpun mulai terjadi, mulai dari bumbu tai kebbo lah, model masakan kayak ibunya si raju temennya rancho lah, sampai pada hai-hai chi ayahnya Jin dalam film tekken. Pokoknya rame dah waktu itu, mana cocotnya si kudo yang tidak ada kampas remnya itu bikin suasana makin cair. Kami pun berlomba bersama, memacu waktu sambil becanda dan mentertawakan racikan bumbu masakan masing-masing.
Sumpah..aku mau ketawa tadi ketika melihat racikan si kudo. Dia kan mau bikin omelet susun yang super gede, tapi kok ya aku heran sama rempah-rempah yang dia buat, semua belanjaan di warung sayur tadi di masukin semua sama dia. Parahnya lagi, udah pake merica satu sendok, eh malah ditambah cabe segenggam tangan dia. Aku gak habis pikir klo sampai keduanya dicampur dan dijadikan bumbu dalam satu makanan, bakalan berapa orang yang bakalan mengantri wc di SC hehe..
Tapi tetap dia sudah punya rekaan, dan aku sebagai lawan tandingnya tidak berhak menghentikan ide gila masakan dia. Cuma aku tadi sedikit menganalisis makanan yang bakal ia buat karena terinspirasi oleh rumah susun (rusun) yang banyak terdapat di daerahnya. Makanya ia bikin kreasi untuk membuat omelet susun yang super gede.
Setelah sekian waktu terlewati dengan canda tawa, akhirnya masakanku yang pertama mateng duluan. Aroma merica yang kebanyakan itu sangat menyengat hidung dan mata, tapi yang namanya manusia suka gak percaya sama apa yang dilihat, termasuk lidah yang tidak mempercayai mata dan hidung berani nekat mencicipi dengan perlahan dan penuh perasaan. Srupp…cicipan pertama sudah memasuki rongga mulut. Dan apa yang kurasakan? Pastinya kalian sudah pada tahu, yaitu masih kurang asin coy dan lidah terasa kaku ketika panas merica terasa. Gila..aku gagal (batinku), tapi biarlah yang penting aku berhasil mencoba sesuatu yang baru dan belum pernah kulakukan. Meski rasanya gak karuan, tapi tetap saja kulahap agar menghormati peluh keringat yang bercucuran. Disamping itu juga karena rasa kangen sama kuliner rumah aku memberanikan diri memakannya sendok demi sendok sampai perut terasa dibakar api. Dan kuhentikan..lalu kupersilahkan audien yang melihat kompetisi kami yang konyol ini untuk mencobanya. ---wuek..kok gini rasanya—kesan orang pertama. --….??...--- tak ada kesan ucapan dari orang kedua, tapi dia menunjukkan ekspresi jelek wajahnya ketika masakan tu menyentuh ujung lidahnya. Dan aku berhipotesa masakanku ancur. Harapan yang semula sangat berharap baik, perlahan harapan itu hancur perlahan dengan reaksi dan sikap anak-anak yang mencicipi tu menu.
Orang ketiga yang bakal mencicipi ni sup sudah datang dan langsung melahapnya. –pean mau buat racikan pencuci perut mas?—komen orang ketiga. Huh..dengan sedikit kecewa karena tak dapat memberikan yang terbaik terasa olehku. Tapi it’s okelah..toh kejujuran merupakan sesuatu yang baik meski gak enak di telinga. Toh tu kan menjadi motivasi tersendiri bagiku agar lebih baek lagi kedepannya dalam memasak menu daerah.
Selesai makananku dikomentari, kita tinggal menunggu hasil dari masakan si kudo yang kala itu sudah di bantu asisten pungutan yakni Omes dan cowoknya. Mereka lagi sibuk menetaskan telor, mengaduk telor dan bumbu yang sudah gilang buat dan sibuk merebus mie instan yang bakal jadi bahan dasar omelet tersebut.  Lama sekali kutunggu kapan masakan kudo tersaji, akhirnya kulebih memilih untuk bermain game lagi sampai para dewan juri yakni Ganyong dan gempur tiba di TKP.
Waktu sudah menunjukkan batas maksimal yang telah ditetapkan yaitu jam 12.30WIB. tapi omelet si kudo masih tak kunjung mateng, berkali-kali kudengar ganyong memperingatkan kalo batas waktu memasak sudah sampai pada yang telah ditetapkan dan disepakati. Tapi yang namanya kudo gak bakalan dia menggubris sindiran ganyong, dia tetap cuek sambil senyam-senyum dengan hiasan khas dia yakni kumisnya yang menggoda sampai-sampai diriku tergoda ingin mengupas tu kumis hehe just kidding!!
Lama menunggu akhirnya tiba juga,, setelah beberapa kejadian menarik terlewati seperti kegosongan dan segala macam tingkah kudo yang bikin tertawa anak-anak, omelet buatannya tersaji dengan aroma menggoda. Sukses dah buat dia, meski sebelumnya dia berkata nyerah untuk masak-masak. Tapi hasil karyanya omelet susun yang tidak sesuai susunannya itu tersaji oke bagi temen-temen. Dari sinilah aku mendapatkan pelajaran baru, yakni memasak bukanlah karena bakat melainkan karena niat. Dan hasil yang dicapai tidak maksimal dan rasa kedua masakan sangat amburadul. Toh tetap kita masuk dalam kategori koki/chief yang berhasil memasak sesuatu yang berbeda, maksudnya berbeda dari lumrahnya koki memasak hehe.
Inilah kejadian penting yang kan menjadi memori tersendiri dalam kenangan pribadiku, kudo dan anak-anak yang menyaksikan kelak. Meski ancur-ancuran, dan tidak dapat dinikmati layaknya masakan lain, ini akan menjadi kesan tersendiri bagi UKM.

Minggu, 02 Oktober 2011

Kata-Kata Mutiara Imam Ali

Sayyidina ‘Ali berkata: Wahai manusia, Bertanyalah padaku sebelum kalian kehilangan aku. Sesungguhnya aku ini lebih mengetahui jalan-jalan langit dari pada jalan-jalan bumi. Bahkan, aku mengetahui sebelum bencana itu terjadi dan menghempaskan impian-impian umat ini.

***
IBADAH
1.      Sesungguhnya ada segolongan orang menyembah allah karena mengharapkan pahala, maka itulah ibadah para pedagang. Adapula segolongan orang menyembah allah karena takut dengan siksa-Nya, maka itulah ibadah para budak. Dan ada segolongan orang menyembah allah karena syukur kepada-Nya, maka itulah ibadah orang-orang merdeka.
2.      Bersabar akan beratnya beribadah akan menaikkanmu kepada kemuliaan mendapatkan keberuntungan besar.
3.      Ibadah paling utama adalah diam dan menanti kelapangan
4.      Kebahagian yang sempurna diperoleh dengan ilmu, sedangkan kebahagian yang diperoleh kurang dengan zuhud. Dan ibadah tanpa didasari ilmu dan kezuhudan hanyalah keletihan badan
5.      Ibadah paling utama adalah menahan diri dari kemaksiatan dan berhenti ketika dihadapkan dengan perkara yang syubhat
6.      Di mana terdapat hikmah, di situlah terdapat ketakutan terhadap Allah; dan di mana terdapat ketakutan kepada-Nya, di situlah terdapat rahmat-Nya.

*
Wanita
1.      Sesungguhnya wanita sangguh menyembunyikan cinta selama empat puluh tahun, namun ia tidak sanggup menyembunyikan kebencian walau sesaat.
2.      Sesungguhnya allah menciptakan wanita dari kelemahan dan aurat. Maka, obatilah kelemahan mereka dengan diam, dan tutupilah aurat itu dengan menempatkannya di rumah
3.      Sebaik-baik perangai wanita adalah seburuk-buruk perangai laki-laki, yaitu: angkuh, penakut, kikir. Jika wanita angkuh, dia tidak akan member kuasa kepada nafsunya. Jika wanita itu kikir, dia akan menjaga hartanya dan harta suaminya. Dan jika wanita itu penakut, dia akan takut pada segala sesuatu yang menimpanya
4.      Janganlah kalian menikahi wanita karena kecantikannya, karena mungkin saja kecantikannya akan membinasakannya. Dan jangan pula kalian menikahi wanita karena hartanya, karena mungkin saja hartanya akan menjadikannya bersikap sewenang-wenang. Akan tetapi, nikahilah wanita itu karena agamanya. Sungguh, seorang budak hitam yang putus hidungnya, tetapi kuat agamanya, dia lebih utama.
5.      Aib yang ada pada seorang wanita akan terus ada selamanya. Aib ini juga akan menimpa anak-anaknya setelah menimpa ayah mereka
6.      Kecemburuan seorang wanita adalah kekufuran, sedangkan kecemburuan seorang laki-laki adalah keimanan


Nasihat
1.      Perhatikanlah orang yang memberikan nasihat kepadamu. Seandainya dia memulai dari sisi yang merugikan orang banyak, maka janganlah engkau menerima nasihatnya dan berhati-hatilah darinya. Akan tetapi, jika dia memulai dari sisi keadilan dan kebaikan (orang banyak), maka terimalah nasihatnya itu.
2.      Janganlah engkau meninggalkan pemebrian nasihat kepada keluargamu, karena sesungguhnya engkau bertanggung jawab atas mereka
3.      Berikanlah nasihat yang tulus kepada saudaramu, baik itu dalam hal yang baik maupun buruk
4.      Tidaklah memahami pembicaraanmu orang yang lebih senang berbicara kepadamu daripada mendengarkan pembicaraanmu. Tidaklah mengetahui nasihatmu orang yang hawa nafsunya mengalahkan pendapatmu. Dan tidaklah menerima argumentasimu orang yang berkeyakinan bahwa dia lebih sempurna dari pada kamu tentang pengetahuan yang engkau sampaikan kepadanya.

Selasa, 27 September 2011

Hari Yang Payah

26 September tak dapat kusangka kan menjadi hari yang paling payah seumur hidup. bukan karena tidak ada kegiatan yang menyebabkan hari tu terasa sangat payah. justru pada hari itu ada kegiatan yang sangat ‘wah’ aku bilang, tapi malah preparenya sangat menjijikkan. ditengah-tengah banyaknya anggota yang sedang nganggur, eh malah tidak respect sama sekali dengan kegiatan yang akan diadakan 1 jam lagi. malah disibukkan dengan senda gurau dan kesibukan yang tidak ada maksudnya. aku heran...meski banyak orang koq kayak sendiri dalam hutan. mana embel-embel sukarela? apakah nama tu hanya sebatas pajangan dalam panji? ato memang tersemat dalam hati?

Heh..tak dapat kujelaskan. aku memaklumi dan menyadari. mungkin inilah karma buat diriku sendiri. aku tidak mau memanjang lebarkan masalah ini hingga sampai mengakibatkan perpecahan. cukup yang merasakan hanya aku seorang saja perihal masalah ini. Permasalahan lainnya adalah selain minimnya respect dari teman-teman, aku mendapatkan rasa sakit kepala yang datang tiba-tiba. jadi segala sesuatunya sudah tidak bisa kucerna dengan rasio, semua kucerna dengan emosi yang tinggi. aku tahu, mungkin anak-anak kan menilaiku masih belum dewasa. tapi biarlah mereka menilai dengan penilaian seperti itu tanpa tahu sakit hati yang sangat menyakitkan yang kualami. aku yakin suatu saat mereka kan mengalami hal serupa denganku jika kondisi teman-teman masih seperti itu.

Aku jadi mikir, percuma pandai berbicara sarat teori. tapi aplikasi lapangan nol. badan gede, tampang serem dan menjijikkan tapi kelakuan kayak bencong dan males buat kerja keras, mending dibuang saja. benar apa yang dikatakan senior-senior, tidak perlu banyak orang jika banyak orang tu hanya membawa masalah. lebih baik sedikit orang tapi mampu melaksanakan dengan teratur. tapi namanya harapan tetap menjadi harapan klo tidak ada usaha untuk mewujudkannya. dan tetap kan tak terwujud harapan tu meski ada usaha tapi yang diusahakan malah tidak penuh respect dan tanggung jawab. tu namanya GONDRONG

Terkait karma, mungkin hal ini akibat ulahku sendiri. bagi orang yang belum mengetahui hal ini (karma) kan beranggapan klo karma tidak dikenal dalam ajaran Islam. Pernyataan itu SALAH besar. dan patut dipertanyakan keilmuan tentang Islam itu. Memang dalam Islam hukum karma ini tidak di spesifikkan seperti dalam ajaran hindu yang menyebut 'apa yang kamu lakukan, maka kamu yang merasakan' dengan sebutan karma. tapi jangan dikira Islam tidak mengenal karma, meski redaksi dan penyebutan karma tidak ada dalam Islam. namun al-qur'an dengan jelas menggambarkan dan menjelaskan tentang hal serupa dengan karma. lihat Surat Yaasin (qaalu thaairukum ma 'akum)

Kembali pada karma yang kualami. jika mengingat pengalaman dan pekerjaanku dulu tentang hal yang bersangkutan dengan kegiatan organisasi. jujur.. aku masih jauh dari yang diharapkan. Tidak serespect dan seloyal teman seangkatanku yang lain. Memori inilah yang menjadi peredam emosiku kemarin. aku sadar dan tidak pantas menyalahkan mereka yang memang sedang asik dengan mainannya. toh, aku dulunya juga begitu. Tapi aku mau menyarankan pada mereka, kalau mereka berbuat yang demikian (tidak respect). mereka nanti kan dihadapkan dengan teman-teman yang tidak respect pula pada pekerjaanmu saat itu. percaya tidak percaya Al-qur'an yang berbicara, bukan aku yang menyumpah serapahi.

Oleh karena itu, mengantisipasi karma yang seperti kurasakan. mulailah dengan kesadaran terhadap diri sendiri. aku yakin bahwa tidak seorangpun yang mau sakit hati. jika sudah mau berbenah, dan introspeksi diri. Insyallah kamu tidak kan terkena sakit hati oleh tindakan orang-orang sekitar. diujung catatan ini aku mau berpesan 'jika memang malas mau datang ke acara yang diadakan organisasimu. tolong jangan kau sebutkan di depan orang yang mengerjakan (panitia). Sumpah!! itu menyakitkan, lebih baik sakit dipukul oleh bogem mentah dari pada mnedengar hal seperti itu.'

Semua kesempurnaan milik tuhan. hamba hanya bisa melakukan yang terbaik tanpa harus melawan sampai melampaui batas koridor ketetapan Tuhan. so Wa Allahu A'lam Bi Showab

Sabtu, 24 September 2011

Analisis Kasus Hadonah Tamara Bleszynski

Kronologi Kasus
Jakarta - Tamara Bleszynski kalah telak dalam kasus perebutan hak asuh anaknya Rasya dengan eks suaminya Rafly. Bagaimana tanggapan Rafly atas gagalnya Tamara mengambil Rasya darinya?
"Bersyukur banget, berterimakasih juga kepada majelis hakim. Putusan PK itu sudah benar, sudah sesuai dengan harapan dan doa saya serta Rasya," urai mantan suami Tamara itu saat ditemui di rumahnya Jl. Tirtayasa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (28/8/2008) malam.
Seperti diberitakan PK (Peninjauan Kembali) Tamara atas hak asuh anaknya ditolak oleh Mahkamah Agung. PK merupakan langkah terakhir yang bisa dilakukan bintang iklan sabun itu. Sebelumnya ia sudah melakukan banding dan kasasi yang semuanya juga ditolak.
Rafly mengelak jika ditolaknya PK Tamara tersebut dianggap sebagai kemenangannya atas hak asuh Rasya. "Putusan ini bukan berarti kemenangan saya atau kekalahan Tamara, tapi lebih kepada kemenangan untuk Rasya," jelasnya.
Ditemui di tempat yang sama pengacara Rafly, Afdal Zikri menjelaskan PK Tamara ditolak karena dalam PK tersebut tidak ada bukti-bukti baru yang diajukannya. Dalam novum atau bukti yang diajukan oleh bintang sinetron Hikmah itu terdapat hasil rekomendasi psikologi, laporan polisi Tamara terhadap Rafly dan beberapa hal lainnya.
Ø  Kajian Teori
Hadlonah berasal dari kata Al-Hidn yang berarti anggota tubuh dari bawah ketiak sampai ke pinggul. Dalam istilah fikih, berarti mengasuh anak kecil atau anak abnormal yang belum atau tidak dapat hidup mandiri, yaitu dengan memenuhi kebutuhan hidupnya, menjaganya dari hal-hal yang membahayakan, memberinya pendidikan fisik maupun psikis, dan mengembangkan kemampuan intelektual agar sanggup memikul tanggung jawab hidupnya. Pengasuhan merupakan hak setiap anak. Orang pertama yang harus memikul kewajiban itu adalah kedua orang tuanya. Apabila terjadi perceraian antara keduanya, ibu lebih berhak atas pengasuhan itu dari pada ayahnya, selama ibu memenuhi persyaratan atau selama anak belum sampai pada usia memilih.
Atas dasar hak ibu yang demikian, para ahli hukum Islam (fukaha) memandang kerabat ibu lebih berhak atas pengasuhan daripada kerabat ayah, dan urutan mereka telah diatur di dalam fikih. Apabila anak tidak memiliki kerabat dari mahram (kerabat dekat yang tak boleh dinikahi) ini atau di antara mereka tidak meorangpun yang memenuhi syarat maka hak pengasuhan berpindah kepada asabat (ahli waris yang berhubungan darah secara langsung) dari mahram laki-laki sesuai dengan urutan dalam pewarisan. Jika yang disebut terakhirpun tidak ada, maka hak hadanah berpindah kepada mahram laki-laki yang bukan asabat. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pengasuh adalah berakal; balig; mampu mendidik; dapat dipercaya dan berakhlak mulia; beragama Islam; ibu yang tidak kawin lagi dengan lelaki lain (ajnabi) yang menyebabkan hak pengasuhannya gugur; serta wanita merdeka, bukan budak. Sebagian golongan, seperti para penganut mahzab Hanafi, tidak mengharuskan syarat ini, karena pengasuhan tidak lebih dari menyusui anak dan mengabdi kepadanya, dan hal ini boleh dilakukan oleh pengasuh yang kafir.
Upah mengasuh serupa dengan upah menyusui. Ibu tidak berhak menerima upah selama dalam keadaan menjadi istri dari ayah si anak atau dalam keadaan idah, karena dalam keadaan tersebut ia mendapatkan nafkah. Akan tetapi setelah idah berakhir, ibu berhak menerima upah mengasuh sebagaimana berhak menerima upah menyusui, Firman Allah SWT yang artinya :
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (QS. At-Thalaq : 6)
Ayah tidak hanya berkewajiban membayar upah menyusui dan mengasuh, tetapi juga berkewajiban membayar biaya tempat tinggal atau mempersiapkannya bila si ibu tidak mempunyai tempat tinggal untuk mengasuh anak itu. Ayah juga berkewajiban membayar pembantu bila diperlukan. Kebutuhan-kebutuhan primer sang anak juga menjadi tanggungan ayahnya. Pengasuhan berakhir jika anak sudah tidak membutuhkan lagi pelayanan wanita, yaitu telah mencapai usia tamyiz (lebih kurang pada umur tujuh tahun). Anak telah mampu melayani dirinya sendiri untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya.
Dalam hal ini tidak ada kesepakatan ulama mengenai batas akhir pengasuhan. Ada yang mengatakan setelah anak laki-laki berumur tujuh tahun dan anak perempuan berumur sembilan tahun. Ada pula yang memegang tolok ukur berdasar kemampuan sang anak membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya, serta tidak membutuhkan pelayanan lagi.
Dalam Kompilasi Hukum Islam setidaknya ada dua pasal yang menentukan pengasuhan anak yaitu Pasal 105 dan 156. Pasal 105 menentukan tentang pengasuhan anak pada dua keadaan. Pertama ketika anak masih dalam keadaan belum mumayyiz (kurang dari 12 tahun) pengasuhan anak ditetapkan kepada ibunya. Kedua ketika anak tersebut mumayyiz (usia 12 tahun ke atas) dapat diberikan hak kepada anak untuk memilih diasuh oleh ayah atau ibunya.
Adapun Pasal 156 mengatur tentang pengasuhan anak ketika ibu kandungnya meninggal dunia dengan memberikan urutan yang berhak mengasuh anak. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tidak memberikan perubahan yang berarti mengenai penyelesaian permasalahan pengasuhan anak. Berkaitan dengan pemeliharaan anak setelah perceraian, dalam UU No.1 tahun 1974 pada pasal 41 juga di jelaskan sebagai berikut :

1.    Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan member putusannya.
2.    Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab pihak bapak, kecuali dalam pelaksanaannya pihak bapak tidak dapat melakukan kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3.    Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.
Dari ketentuan pasal 41 di atas dapat diketahui bahwa bapak maupun ibu mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap pemeliharaan anak meskipun telah bercerai.

Ø  Analisis Kasus
Permasalahan yang hingga kini melanda selebritis Indonesia Saudari Tamara Bleszynski tentang hak asuh anak (hadlonah) perlu di kaji ulang atau perlu di adakan PK (Peninjauan Kembali) terhadap pengadilan sehubungan dengan putusan yang memberatkan klien saya saudari Tamara, dimana hak asuh anak jatuh pada mantan suaminya yaitu Teuku Rafli.
Ini sungguh kronis melihat anak tersebut (Rasya Isslamay Pasya) belum mencapai umur yang di perbolehkan lepas dari hak asuh ibunya (belum Mumayiz). Sebagaimana yang sudah tertera dalam KHI pasal 105 dalam penentuan hak asuh anak akan jatuh pada ibunya apabila anak belum Mumayiz (kurang dari 12 tahun).
Dari pasal tersebut sudah jelas behwa klien saya lebih berhak untuk mendapatkan hak asuh anak tersebut yaitu nanda Rasya. Di samping itu fakta anak tersebut masih dalam keadaan belum mumayiz (kurang dari 12 tahun). Dan anak dalam seumuran dia mesti mendapatkan hak dan bimbingan asuh dari seorang ibu bukannya seorang bapak. Dan di luar dugaan pihak pengadilan juga mengesampingkan poin-poin dari pasal 156 dari poin A-F Kompilasi Hukum Islam tentang akibat putusnya perkawinan akan menyebabkan di antaranya sebagai berikut :
A.    Anak yang belum Mumayiz berhak mendapatkan Hadlonah dari ibunya, kecuali apabila ibunya telah meninggal, maka kedudukannya digantikan oleh :
1.    Wanita-wanita dari garis keturunan ibu.
2.    Ayah
3.    Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah.
4.    Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan.
5.    Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu.
6.    Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu.

B.    Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih mendapatkan hadlonah dari ayah atau ibunya.
C.   Apabila pemegang hadlonah ternyata tidak dapat menjamin keselematan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadlonah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadlonah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadlonah pula.
D.   Semua nafkah dan hadlonah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri.
E.    Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadlonah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).
F.    Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya”.
Dilihat dari beberapa poin di atas dan kita padukan dengan realita umur anak tersebut membuktikan keberhakan saudari Tamara atas nanda Rasya melebihi keberhakan pengasuhan atas bapaknya Teuku Rafli karena umur nanda Rasya yang belum Mumayiz dan dalm KHI pasal 156 poin A menjelaskan keberhakan seorang ibu jauh lebih kuat di bandingkan dengan hadlonah seorang ayah.
Demikianlah analisis kasus yang saya utarakan, jika terdapat kekeliruan dan kesalahan, saya selaku penulis yang bertindak sebagai pengacara saudari Tamara, meminta maaf yang sebesar-besarnya. Wallahul muwaafiq ila aqwamit thariq.

Zakat Perusahaan

Definisi Zakat Perusahaan
Al Qaradhawi menghimpun jenis ini dengan sebutan المستغلات (harta yang diusahakan), yaitu harta yang diusahakan oleh para pemiliknya untuk berusaha dengan cara menyewakannya atau menjual hasilnya. Perbedaanya dengan harta perniagaan adalah bahwa keuntungan yang diperoleh dalam perdagangan adalah lewat penjualan atau pemindahan benda-benda itu ke tangan orang lain. Sedangkan harta perusahaan masih berada di tangan pemilik, dan keuntungan diperoleh dari penyewaan atau penjualan produknya.
"Zakat perusahaan" (Corporate zakat) adalah sebuah fenomena baru, sehingga hampir dipastikan tidak ditemukan dalam kitab fiqih klasik. Ulama kontemporer melakukan dasar hukum zakat perusahaan melalui upaya qiyas, yaitu zakat perusahaan kepada zakat perdagangan. Zakat perusahaan hampir sama dengan zakat perdagangan dan investasi. Bedanya zakat perusahaan bersifat kolektif. Gejala ini dimulai dengan prakarsa para pengusaha dan manajer muslim modern untuk mengeluarkan zakat perusahaan. Kaum cendekiawan muslim ikut mengembangkan sistem ini, dan akhirnya BAZ (Badan Amil Zakat) dan LAZ (Lembaga Amil Zakat) juga ikut memperkokoh pelaksanaannya. Para ulama peserta muktamar internasional menganalogikan zakat perusahaan kepada zakat perdagangan, karena dipandang dan aspek legal dan ekonomi kegiatan sebuah perusahaan intinya adalah berpijak pada kegiatan trading atau perdagangan. Oleh karena itu, nishabnya adalah sama dengan nishab zakat perdagangan yaitu 85 gram emas.
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas dapat dipahami bahwa modernisasi dalam bidang muamalah diizinkan oleh syariat Islam, selama tidak bertentangan dengan prinsip dan jiwa syariat Islam itu sendiri. Menyadari bahwa kehidupan dan kebutuhan manusia selalu berkembang dan berubah, maka syariat Islam dalam bidang muamalah, pada umumnya hanya mengatur dan menetapkan dasar-dasar hukum secara umum. Sedangkan perinciannya diserahkan kepada umat Islam, dimana pun mereka berada. Tentu perincian itu tidak menyimpang apalagi bertentangan dengan prinsip dan jiwa syariat Islam. Dalam konteks inilah perusahaan ditempatkan sebagai muzakki/wajib zakat.
2. Dasar Hukum Zakat Perusahaan
Perusahaan wajib mengeluarkan zakat, karena keberadaan perusahaan adalah sebagai badan hukum (recht person) atau yang dianggap orang. Oleh karena itu diantara individu itu kemudian timbul transaksi meminjam, menjual, berhubungan dengan pihak luar, dan juga menjalin kerjasama. Segala kewajiban dan hasil akhirnya pun dinikmati secara bersama-sama, termasuk di dalamnya kewajiban kepada Allah SWT dalam bentuk zakat.
Demikian halnya juga, para ulama sepakat bahwa hukum menginvestasikan harta melalui pembelian/pemilikan saham adalah sah secara syar’i dan keuntungannya wajib dizakatkan. Pemegang saham merupakan bagian dari pemilik perusahaan yang mewakilkan operasionalnya kepada pihak manajemen untuk menjalankan operasional perusahaan dimana keutungan dan kerugian perusahaan ditanggung bersama oleh pemegang saham. Keuntungan dan kerugian perusahaan dapat diketahui pada waktu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan pada saat itulah zakat di wajibkan. Namun para ulama berbeda tentang kewajiban pengeluaran zakatnya.
Pendapat pertama yang dikemukakan oleh Syeikh Abdurrahman isa dalam kitabnya “al-Mu’âmalah al-Hadîtsah Wa Ahkâmuha ”, mengatakan bahwa yang harus diperhatikan sebelum pengeluaran zakat adalah status perusahaannya, untuk lebih jelasnya sebagai berikut:
a.    Jika perusahaan tersebut adalah perusahaan yang bergerak dibidang layanan jasa semata, misalnya biro perjalanan, biro iklan, perusahaan jasa angkutan (darat, laut, udara), perusahaan hotel, maka sahamnya tidak wajib dizakati. Hal ini dikarenakan saham–saham itu terletak pada alat–alat, perlengkapan, gedung–gedung, sarana dan prasarana lainnya. Namun keuntungan yang diperoleh dimasukkan ke dalam harta para pemilik saham tersebut, lalu zakatnya dikeluarkan bersama harta lainnya jika telah mencapai nisab dan haul.
b.    Jika perusahaan tersebut adalah perusahaan dagang murni yang melakukan transaksi jual beli barang tanpa melakukan proses pengolahan, seperti perusahaan yang menjual hasil–hasil industri, perusahaan dagang Internasional, perusahaan ekspor-impor, dan lain lain, maka saham–saham perusahaan tersebut wajib dikeluarkan zakatnya disamping zakat dari keuntungan yang diperoleh. Caranya adalah dengan menghitung kembali jumlah keseluruhan saham kemudian dikurangi harga alat-alat, barang-barang ataupun inventaris lainnya, baru kemudian dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 %. Hal ini dapat dilakukan setiap akhir tahun.
c.    Jika perusahaan tersebut bergerak dibidang industri dan perdagangan, artinya melakukan pengolahan suatu komoditi dan kemudian menjual kembali hasil produksinya, seperti perusahaan Minyak dan Gas (MIGAS), perusahaan pengolahan mebel, marmer dan sebagainya, maka sahamnya wajib dizakatkan. Cara penghitungan dan pengeluaran zakatnya adalah sama dengan cara penghitungan zakat perusahaan yang bergerak dibidang perdagangan.
Pendapat kedua yaitu pendapat Abû Zahrah yang mengatakan bahwa saham adalah harta yang beredar dan dapat diperjual–belikan, dan pemiliknya mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan tersebut, karena itu wajib dizakati. Ini termasuk dalam kategori barang dagangan dan besarnya suku zakat adalah 2,5%. Caranya adalah setiap akhir tahun, perusahaan melakukan penghitungan harga saham sesuai dengan harga yang beredar dipasaran, kemudian menggabungkannya dengan keuntungan yang diperoleh. Jika besarnya harga saham dan keuntungannya mencapai nisab maka wajib dizakatkan.
Beda halnya, Yûsuf Qaradâwi mengatakan jika saham perusahaan berupa barang atau alat seperti mesin produksi, gedung, alat transportasi dan lain-lain, maka saham perusahaan tersebut tersebut tidak dikenai zakat. Zakat hanya dikenakan pada hasil bersih atau keuntungan yang diperoleh sebesar 10%. Hukum ini juga berlaku untuk asset perusahaan yang dimiliki oleh individu/perorangan. Lain halnya kalau saham perusahaan berupa komoditi yang diperdagangkan. Zakat dapat dikenakan pada saham dan keuntungannya sekaligus karena dianalogikan dengan urûd tijârah. Besarnya suku zakat adalah 2,5 %. Hal ini juga berlaku untuk aset serupa yang dimiliki oleh perorangan.
Al-hasil, dalam konteks Indonesia, mengenai zakat perusahaaan, belum lama ini telah mencuat Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui sidang ijtima yang diadakan pada Januari lalu telah mewajibkan zakat perusahaan. Menurut Agustianto dasar hukum kewajiban zakat perusahaan ialah dalil yang bersifat umum sebagaimana terdapat dalam surat Al-baqarah ayat 267
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”

3. Pengitungan Zakat Perusahaan
"Rasulullah SAW memerintahkan kami agar mengeluarkan zakat dari semua yang kami persiapkan untuk berdagang." (HR. Abu Dawud)
Ketentuan Zakat Perusahaan:
a.    Berjalan 1 tahun ( haul ), Pendapat Abu Hanifah lebih kuat dan realistis yaitu dengan menggabungkan semua harta perdagangan pada awal dan akhir dalam satu tahun kemudian dikeluarkan zakatnya.
b.    Nisab zakat perusahaan sama dengan nisab emas yaitu senilai 94 gr emas
c.    Kadarnya zakat sebesar 2,5 %
d.    Dapat dibayar dengan uang atau barang
e.    Dikenakan pada perdagangan maupun perseroan.
Perhitungan : (Modal diputar + Keuntungan + piutang yang dapat dicairkan) - (hutang + kerugian) x 2,5 %
Contoh : “Harta perniagaan, baik yang bergerak di bidang perdagangan, industri, agroindustri, ataupun jasa, dikelola secara individu maupun badan usaha (seperti PT, CV, Yayasan, Koperasi, Dll) nishabnya adalah 20 dinar (setara dengan 94 gram emas murni). Artinya jika suatu badan usaha pada akhir tahun (tutup buku) memiliki kekayaan (modal kerja dan untung) lebih besar atau setara dengan 94 gram emas (asumsi jika per-gram Rp 75.000,- = Rp 6.375.000,-), maka ia wajib mengeluarkan zakat sebesar 2,5 % .“
Pada badan usaha yang berbentuk syirkah (kerjasama), maka jika semua anggota syirkah beragama Islam, zakat dikeluarkan lebih dulu sebelum dibagikan kepada pihak-pihak yang bersyirkah. Tetapi jika anggota syirkah terdapat orang yang non muslim, maka zakat hanya dikeluarkan dari anggota syirkah muslim saja (apabila jumlahnya lebih dari nishab). Kekayaan yang dimiliki badan usaha tidak akan lepas dari salah satu atau lebih dari tiga bentuk di bawah ini :
1.    Kekayaan dalam bentuk barang
2.    Uang tunai
3.    Piutang
Maka yang dimaksud dengan harta perusahaan yang wajib dizakati adalah yang harus dibayar (jatuh tempo) dan pajak.
Contoh: Sebuah perusahaan meubel pada tutup buku per Januari tahun 1995 dengan keadaan sbb :
1.    Sofa atau Mebel belum terjual 5 set Rp 10.000.000
2.    Uang tunai Rp 15.000.000
3.    Piutang Rp 2.000.000
4.    Jumlah Rp 27.000.000
5.    Utang & Pajak Rp 7.000.000
6.    Saldo Rp 20.000.000
7.    Besar zakat = 2,5 % x Rp 20.000.000,- = Rp 500.000,-
Pada harta perniagaan, modal investasi yang berupa tanah dan bangunan atau lemari, etalase pada toko, dll, tidak termasuk harta yang wajib dizakati sebab termasuk kedalam kategori barang tetap (tidak berkembang). Usaha yang bergerak dibidang jasa, seperti perhotelan, penyewaan apartemen, taksi, renal mobil, bus/truk, kapal laut, pesawat udara, dll, kemudian dikeluarkan zakatnya dapat dipilih diantara 2 (dua) cara:
a.    Pada perhitungan akhir tahun (tutup buku), seluruh harta kekayaan perusahaan dihitung, termasuk barang (harta) penghasil jasa, seperti taksi, kapal, hotel, dll, kemudian keluarkan zakatnya 2,5 %.
b.    Pada Perhitungan akhir tahun (tutup buku), hanya dihitung dari hasil bersih yang diperoleh usaha tersebut selama satu tahun, kemudian zakatnya dikeluarkan 10%. Hal ini diqiyaskan dengan perhitungan zakat hasil pertanian, dimana perhitungan zakatnya hanya didasarkan pada hasil pertaniannya, tidak dihitung harga tanahnya.

Hukum Wanita Adzan

Hukum Wanita Adzan
Dalam sebuah bukunya yang berjudul Soal-JAwab jilid 3-4 A. Hassan pernah ditanya oleh seseorang mengenai bagaimana hukumnya wanit adzan?
Jawaban A. Hassan adalah “ Tiap-tiap perintah agama, pada asalnya mengenai kepaa laki-laki dan wanita, kecuali ada keterangan yang menentukan untuk laki-laki dan wanita.”
Begitu juga adzan, pada asalnya boleh dikerjakan oleh laki-laki dan wanita. Tetapi, dalam masalah ini ada dua pendapat, yang pertama berpendapat boleh dan yang kedua berpendapat tidak boleh.  Yang berpendapat tidak boleh, berkata bahwa hadits-hadits yang menyuruh adzan, semuannya dikenakan hanya pada laki-laki saja. Tidak ada satupun yang disuruhkan kepada wanita. Tambahan pula Nabi SAW bersabda:
Artinya; “Tidak ada (perintah)adzan dan iqmat atasa wanita ” (H.R An-Naj-Jad).
Ibnu Umar juga pernah berkata demikian, sabda Nabi SAW yang berbunyi
Artinya; “Sesungguhnya kelemahan dan aurat itu(sifat) wanita. Oleh karena itu, tutuplah kelemahan mereka dengan diam dan sembunyikanlah ‘aurat-‘aurat mereka dengan (tinggal) di rumah-rumah.”(H.R Al-Uqaili)
Dalam hadits ini ada perkataan “tutuplah kelemahan mereka denga diam” maksudnya, wanita-wanita tidak boleh mengeraskan suara-suara mereka. Dengan hadits ini, terang bahwa wanita tidak boleh beradzan, karena di dalamnya ada larangan wanita bersuara keras, sedangkan adzan biasanya diucapkan dengan suara lantang dan keras.
Sedangkan yang berpendapat wanita boleh beradzan, bahwa agama membolehkan adzan itu kepada umum, baik laki-laki maupun wanita tidak ada bedanya.
Adapun hadits yang diriwayatkan oleh An-Najjad itu, tidak kedapatan shahih.
Imam baihaqi dan Ibnu ‘Adi juga meriwayatkan hadits seperti itu, tetapi semuanya tercela, tidak dapat dijadikan alas an untuk melarang wanita adzan. Hadits dari Uqaili itu, selain dloif sebagaimana tersebut keterangannya dalam kitab Jami’u Ash-Shaghir, tidak juga menunjukkan terlarang wanita beradzan. Kalau juga hadits itu dianggap shah, maka maksudnya tidak lain melainkan melarang wanita bersuara keras. Dengan larangan bersuara keras ini, tidak berarti terlarang untuk wanita beradzan sebagai mengerjakan satu perintah agama.
Oleh sebab itu, tetaplah wanita boleh beradzan. Pendapat ini dikuatkan dengan satu riwayat yang bunyinya;
Artinya; “Dari ‘Aisyah, bahwa ia pernah ber-Adzan dan ber-Iqamah dan mengimami wanita-wanita dan berdiri ditengah-tengah mereka.”(H.R Hakim)
Berkata Imam syafi’ie; “Tidak ada bagi wanita-wanita (perintah) adzan jika mereka shalat berjama’ah, tetapi kalau mereka adzan dan iqamah, tidaklah mengapa”
Di zaman Nabi, Sahabat, Tabi’in dan imam Mazahib, tidak terdapat riwayat wanita beradzan untuk umum. Riwayat-riwayat yang mengatakan wanita berazan dan beriqamah atau jadi imam, nampaknya di antara wanita-wanita atau didalam rumah sendiri. Nanti, kalau sudah tidak ada laki-laki yang bisa beradzan, bolehlah kita fikirkan urusan bilal wanita. (Al-Muhalla 3:129-140, Al-Mughni 1:390-433, Al-Umm 1:61-73, Al-Mudauwanah 1:36, Nail 2:27, Al-Mustadrak 1:204, Al-Jami’ 1:97, Bughyatul-Mustarsyidin 37.
2.    Analisis Teks
Dalam kajian hukum wanita adzan diatas, sudah jelas kalau pendekatan yang dilakukan A. Hassan bukanlah menggunakan metodologi para imam Mazahib maupun metodologi Ijtihad, melainkan beliau menggunakan analisis perbandingan dalil, dimana dalil yang satu dengan dalil yang lain disandingkan lalu dianalisis sehingga membuahkan sebuah hukum boleh dan tidaknya.
Selain metodologi perbandingan dalil, A. Hassan juga menggunakan kajian tekstualis yaitu boleh wanita jadi bilal kalau para laki-laki tidak bisa ber-adzan.
Dari dua metode ini, sungguh sangat jelas bahwa dalam urusan adzan tidak dikhususkan kepada laki-laki saja, karena tidak adanya penegasan bahwa yang diharuskan jadi muadzin adalah laki-laki, sebagaimana syarat-sayarat muadzin yaitu;
a) Islam dan Berakal
Para ulama menyebutkan bahwa di antara syarat sahnya adzan adalah Islam dan berakal. Sehingga tidak sah adzannya orang kafir atau orang gila. Dalil yang menunjukkan tentang masalah ini adalah
“Dan kalaulah mereka berbuat syirik niscaya gugurlah amalan mereka semuanya.” (Al An’am: 88)
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Terangkat pena (pencatat amal) dari tiga jenis manusia. Anak kecil sampai baligh, orang yang tertidur hingga dia bangun dan orang gila sampai dia sadar.” (HR. Ahmad dan Ash-habus Sunan)
b) Baik Agamanya.
Hendaklah muadzin bersifat adil. Adapun jika muadzin adalah orang yang menampakkan kemunafikan maka para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang rajih adalah yang menyatakan sahnya. Namun jika ada orang yang adil maka tentunya orang tersebut yang diutamakan.
“Wahai orang-orang yang beriman jika datang kepada kalian orang fasiq membawa berita maka hendaklah dia memeriksa dengan teliti.” (Al Hujurat: 6)
c) Baligh
Syarat yang ketiga, hendaknya muadzin telah baligh. Namun bila keadaan terpaksa, adzan anak kecil yang belum baligh tetap dinilai sah. Pernah terjadi di zaman Nabi, seorang shahabat bernama Amr bin Abu Salamah Al Jurmy menjadi imam pada suatu kaum sementara umurnya baru 6 tahun. Bila anak kecil sah menjadi imam maka sudah selayaknya sah pula untuk jadi muadzin. Begitupun Anas bin Malik tidak mengingkari adzannya anak kecil.
d) Amanah
Hendaknya muadzin adalah seorang yang amanah/bisa dipercaya, sebab adzan berkaitan dengan waktu sholat. Adzannya orang yang tidak amanah sulit dipercaya, apakah tepat waktunya atau tidak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Imam adalah penanggung jawab sedangkan muadzin adalah orang yang bisa dipercaya…” (HR. Ahmad (6872), dll dari Abu Hurairah)
e) Bersuara lantang dan bagus.
Hendaknya suara muadzin itu bersuara lantang dan bagus. Demikianlah yang dituntunkan oleh Nabi. Sebagaimana perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Abdullah bin Zaid:
“Lakukanlah bersama Bilal, ajarkan kepadanya apa yang kamu lihat dalam mimpimu. Dan hendaklah dia beradzan karena dia lebih tinggi dan bagus suaranya dari kamu.” (HR. Tirmidzi (174) dan Ibnu Majah (698) dari Abdullah bin Zaid)
Dan juga sabda beliau:
“Jika kalian adzan, angkatlah suara kalian karena tidaklah ada makhluk Allah yang mendengar adzan kalian, baik jin, manusia, atau apa saja kecuali masing-masing mereka akan menjadi saksi pada hari kiamat.” (HR. Bukhari (574) dari Abu Said Al Khudri)
jadi wanita pun juga tidak apa-apa untuk menjadi muadzin, selama kondisi saat itu memang mengharuskan wanita beradzan, yaitu seperti kondisi :
1) Disaat dalam rumah
2) Disaat tidak ada laki-laki yang dijadikannya imam, muadzin dan iqamah, hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh siti ‘aisyah r.a dalam hadits yang sudah disebutkan diatas.
3) Dalam keadaan darurat, dimana pada saat itu laki-laki sudah tidak bisa untuk adzan, maka wanitalah yang menggantikan bilalnya.
Dari ketiga syarat diatas merupakan garis kebolehan seorang wanita untuk adzan, terlepas dari itu maka hukum asal yang boleh akan berubah menjadi makruh karena tidak memenuhi syarat diatas.