Social Icons

Pages

Sabtu, 24 September 2011

Analisis Kasus Hadonah Tamara Bleszynski

Kronologi Kasus
Jakarta - Tamara Bleszynski kalah telak dalam kasus perebutan hak asuh anaknya Rasya dengan eks suaminya Rafly. Bagaimana tanggapan Rafly atas gagalnya Tamara mengambil Rasya darinya?
"Bersyukur banget, berterimakasih juga kepada majelis hakim. Putusan PK itu sudah benar, sudah sesuai dengan harapan dan doa saya serta Rasya," urai mantan suami Tamara itu saat ditemui di rumahnya Jl. Tirtayasa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (28/8/2008) malam.
Seperti diberitakan PK (Peninjauan Kembali) Tamara atas hak asuh anaknya ditolak oleh Mahkamah Agung. PK merupakan langkah terakhir yang bisa dilakukan bintang iklan sabun itu. Sebelumnya ia sudah melakukan banding dan kasasi yang semuanya juga ditolak.
Rafly mengelak jika ditolaknya PK Tamara tersebut dianggap sebagai kemenangannya atas hak asuh Rasya. "Putusan ini bukan berarti kemenangan saya atau kekalahan Tamara, tapi lebih kepada kemenangan untuk Rasya," jelasnya.
Ditemui di tempat yang sama pengacara Rafly, Afdal Zikri menjelaskan PK Tamara ditolak karena dalam PK tersebut tidak ada bukti-bukti baru yang diajukannya. Dalam novum atau bukti yang diajukan oleh bintang sinetron Hikmah itu terdapat hasil rekomendasi psikologi, laporan polisi Tamara terhadap Rafly dan beberapa hal lainnya.
Ø  Kajian Teori
Hadlonah berasal dari kata Al-Hidn yang berarti anggota tubuh dari bawah ketiak sampai ke pinggul. Dalam istilah fikih, berarti mengasuh anak kecil atau anak abnormal yang belum atau tidak dapat hidup mandiri, yaitu dengan memenuhi kebutuhan hidupnya, menjaganya dari hal-hal yang membahayakan, memberinya pendidikan fisik maupun psikis, dan mengembangkan kemampuan intelektual agar sanggup memikul tanggung jawab hidupnya. Pengasuhan merupakan hak setiap anak. Orang pertama yang harus memikul kewajiban itu adalah kedua orang tuanya. Apabila terjadi perceraian antara keduanya, ibu lebih berhak atas pengasuhan itu dari pada ayahnya, selama ibu memenuhi persyaratan atau selama anak belum sampai pada usia memilih.
Atas dasar hak ibu yang demikian, para ahli hukum Islam (fukaha) memandang kerabat ibu lebih berhak atas pengasuhan daripada kerabat ayah, dan urutan mereka telah diatur di dalam fikih. Apabila anak tidak memiliki kerabat dari mahram (kerabat dekat yang tak boleh dinikahi) ini atau di antara mereka tidak meorangpun yang memenuhi syarat maka hak pengasuhan berpindah kepada asabat (ahli waris yang berhubungan darah secara langsung) dari mahram laki-laki sesuai dengan urutan dalam pewarisan. Jika yang disebut terakhirpun tidak ada, maka hak hadanah berpindah kepada mahram laki-laki yang bukan asabat. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pengasuh adalah berakal; balig; mampu mendidik; dapat dipercaya dan berakhlak mulia; beragama Islam; ibu yang tidak kawin lagi dengan lelaki lain (ajnabi) yang menyebabkan hak pengasuhannya gugur; serta wanita merdeka, bukan budak. Sebagian golongan, seperti para penganut mahzab Hanafi, tidak mengharuskan syarat ini, karena pengasuhan tidak lebih dari menyusui anak dan mengabdi kepadanya, dan hal ini boleh dilakukan oleh pengasuh yang kafir.
Upah mengasuh serupa dengan upah menyusui. Ibu tidak berhak menerima upah selama dalam keadaan menjadi istri dari ayah si anak atau dalam keadaan idah, karena dalam keadaan tersebut ia mendapatkan nafkah. Akan tetapi setelah idah berakhir, ibu berhak menerima upah mengasuh sebagaimana berhak menerima upah menyusui, Firman Allah SWT yang artinya :
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (QS. At-Thalaq : 6)
Ayah tidak hanya berkewajiban membayar upah menyusui dan mengasuh, tetapi juga berkewajiban membayar biaya tempat tinggal atau mempersiapkannya bila si ibu tidak mempunyai tempat tinggal untuk mengasuh anak itu. Ayah juga berkewajiban membayar pembantu bila diperlukan. Kebutuhan-kebutuhan primer sang anak juga menjadi tanggungan ayahnya. Pengasuhan berakhir jika anak sudah tidak membutuhkan lagi pelayanan wanita, yaitu telah mencapai usia tamyiz (lebih kurang pada umur tujuh tahun). Anak telah mampu melayani dirinya sendiri untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya.
Dalam hal ini tidak ada kesepakatan ulama mengenai batas akhir pengasuhan. Ada yang mengatakan setelah anak laki-laki berumur tujuh tahun dan anak perempuan berumur sembilan tahun. Ada pula yang memegang tolok ukur berdasar kemampuan sang anak membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya, serta tidak membutuhkan pelayanan lagi.
Dalam Kompilasi Hukum Islam setidaknya ada dua pasal yang menentukan pengasuhan anak yaitu Pasal 105 dan 156. Pasal 105 menentukan tentang pengasuhan anak pada dua keadaan. Pertama ketika anak masih dalam keadaan belum mumayyiz (kurang dari 12 tahun) pengasuhan anak ditetapkan kepada ibunya. Kedua ketika anak tersebut mumayyiz (usia 12 tahun ke atas) dapat diberikan hak kepada anak untuk memilih diasuh oleh ayah atau ibunya.
Adapun Pasal 156 mengatur tentang pengasuhan anak ketika ibu kandungnya meninggal dunia dengan memberikan urutan yang berhak mengasuh anak. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tidak memberikan perubahan yang berarti mengenai penyelesaian permasalahan pengasuhan anak. Berkaitan dengan pemeliharaan anak setelah perceraian, dalam UU No.1 tahun 1974 pada pasal 41 juga di jelaskan sebagai berikut :

1.    Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan member putusannya.
2.    Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab pihak bapak, kecuali dalam pelaksanaannya pihak bapak tidak dapat melakukan kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3.    Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.
Dari ketentuan pasal 41 di atas dapat diketahui bahwa bapak maupun ibu mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap pemeliharaan anak meskipun telah bercerai.

Ø  Analisis Kasus
Permasalahan yang hingga kini melanda selebritis Indonesia Saudari Tamara Bleszynski tentang hak asuh anak (hadlonah) perlu di kaji ulang atau perlu di adakan PK (Peninjauan Kembali) terhadap pengadilan sehubungan dengan putusan yang memberatkan klien saya saudari Tamara, dimana hak asuh anak jatuh pada mantan suaminya yaitu Teuku Rafli.
Ini sungguh kronis melihat anak tersebut (Rasya Isslamay Pasya) belum mencapai umur yang di perbolehkan lepas dari hak asuh ibunya (belum Mumayiz). Sebagaimana yang sudah tertera dalam KHI pasal 105 dalam penentuan hak asuh anak akan jatuh pada ibunya apabila anak belum Mumayiz (kurang dari 12 tahun).
Dari pasal tersebut sudah jelas behwa klien saya lebih berhak untuk mendapatkan hak asuh anak tersebut yaitu nanda Rasya. Di samping itu fakta anak tersebut masih dalam keadaan belum mumayiz (kurang dari 12 tahun). Dan anak dalam seumuran dia mesti mendapatkan hak dan bimbingan asuh dari seorang ibu bukannya seorang bapak. Dan di luar dugaan pihak pengadilan juga mengesampingkan poin-poin dari pasal 156 dari poin A-F Kompilasi Hukum Islam tentang akibat putusnya perkawinan akan menyebabkan di antaranya sebagai berikut :
A.    Anak yang belum Mumayiz berhak mendapatkan Hadlonah dari ibunya, kecuali apabila ibunya telah meninggal, maka kedudukannya digantikan oleh :
1.    Wanita-wanita dari garis keturunan ibu.
2.    Ayah
3.    Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah.
4.    Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan.
5.    Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu.
6.    Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu.

B.    Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih mendapatkan hadlonah dari ayah atau ibunya.
C.   Apabila pemegang hadlonah ternyata tidak dapat menjamin keselematan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadlonah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadlonah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadlonah pula.
D.   Semua nafkah dan hadlonah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri.
E.    Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadlonah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).
F.    Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya”.
Dilihat dari beberapa poin di atas dan kita padukan dengan realita umur anak tersebut membuktikan keberhakan saudari Tamara atas nanda Rasya melebihi keberhakan pengasuhan atas bapaknya Teuku Rafli karena umur nanda Rasya yang belum Mumayiz dan dalm KHI pasal 156 poin A menjelaskan keberhakan seorang ibu jauh lebih kuat di bandingkan dengan hadlonah seorang ayah.
Demikianlah analisis kasus yang saya utarakan, jika terdapat kekeliruan dan kesalahan, saya selaku penulis yang bertindak sebagai pengacara saudari Tamara, meminta maaf yang sebesar-besarnya. Wallahul muwaafiq ila aqwamit thariq.

2 komentar:

  1. di jaman modern ini , penerapan KHI ngga bisa dibuat kaku..., banyak sekali justru ibu yg punya penghasilan lebih bnyak dari suami menuntut cerai , banyak pula yang memiliki gaya hidup kurang baik , wanita di jaman sekarang sudah semakin jauh dari kodratnya , tak jarang ayah lebih sayang pada anaknya dibanding ibunya di jaman sekarang ini , perlu peninjauan kembali pasal2 di KHI , penerapan pasal2 KHI secara kaku mnrut sy bisa dilakukan saat wanita menempati posisi & kodratnya secara benar , karena sangat membela kepentingan perempuan yg lemah , tetapi saat wanitalebih banyak di jaman modern ini , & memiliki posisi yg penting bahkan mungkin penghasilan yg jauh lebih besar dari suami apakah pasal2 itu masih relevan diterapkan secara kaku .?..tapi apakah sekarang masih relevan?.pada kenyataan saat ini lebih banyak istri yg nusyuz , serta dzolim pada suami & keluarganya , hukum selalu berkembang mengikuti dinamika masyarakat , di jaman nabi pun tetap terbuka kemungkinan hak asuh anak jatuh pada ayah , silahkan anda jawab , kurang lebihnya mohon maaf terimakasih terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. di zaman moderen ini kodrat seorang istri tidak hanya di dapur, kasur, dan di sumur bos, akan tetapi dalam pandangan hukum perkawinan istri bekerja untuk kebutuhan keluarga dan harus menafkahi sekeluarganya,trs sang suami tak mampu untuk membiayai istri dan keluarganya, itu tidak termasuk nusyuz, Nusyuz itu hanya ketika si istri menolak untuk di jima (disetubuhi) oleh sang suami dengan berbagai alasan, nah itu di sebut nusyuz. kalau pekerjaan seorang di kaitkan dengan nusyuz sangat kecil kemungkinan kasusnya ada. Trs mengnai seorang suami tidak bisa menafkahi istrinya lihat siapa yang menjadi istri dari seorang suami, jika sekelas Tamara sih wajar kalau dia bisa menghabiskan 5 jt dalam seminggu untuk perawatan, nah apakah seorang suami bisa mengabulkannya tidak, kalau tidak apa salahnya seorang istri kerja untuk menafkahi dirinya sendiri....
      wassalam.,,

      Hapus