Social Icons

Pages

Sabtu, 22 Oktober 2011

Wakaf

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Wakaf
Wakaf secara bahasa adalah Al-Habs (menahan). Kata al-waqf adalah bentuk mazdar dari ungkapan Waqfu Syai’, yang berarti menahan sesuatu. Dengan demikian pengertian wakaf secara bahasa adalah menyerahkan tanah kepada orang-orang miskin –atau untuk orang-orang miskin- untuk ditahan. Diartikan demikian, karena barang milik itu di pegang dan di tahan orang lain, seperti menahan hewan ternak, tanah dan segala sesuatu.[1]
Adapun secara Istilah para ulama berbeda pendapat dalam mengistilahkan definisi wakaf tersebut. mereka mendefinisikan wakaf dengan definisi yang sangat beragam sesuai dengan perbedaan mazhab yang mereka anut.[2]
a.       Mazhab Syafi’i
Imam Nawawi dari kalangan mazhab syafi’I mendefinisikan wakaf  dengan: “menahan harta yang dapat diambil manfaatnya bukan untuk dirinya, sementara benda itu tetap ada. Dan digunakan manfaatnya untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah”.
b.      Mazhab Hanafi
Imam Syarkhasi mendefinisikan wakaf dengan: “Hasbul Mamluukan al-tamlik min al-ghair” menahan harta dari jangkauan (kepemilikan) orang lain.
c.       Mazhab Hambali
Yaitu menahan yang asal dan memberikan hasilnya (Ibn Qudamah)
d.      Mazhab Maliki
Ibn Arafah mendefinisikan wakaf dengan “memberikan manfaat sesuatu, pada batas waktu keberadaannya, bersamaan tetapnya wakaf dalam kepemilikan si pemberinya meski hanya perkiraan.”


2.2 Syarat Wakaf
a.       Waqif (orang yang mewakafkan)[3] Orang merdeka, berakal, baligh, rosyid (bukan orang yang tercegah tasarrufnya) dan Syafiiyyah, Malikiyyah dan Hanafiyyah menambahi dengansatu syarat yaitu ihtiyar (tidak dalam keadaan terpaksa).
b.      Mauquf (barang yang di wakafkan )[4] Harta benda yang bernilai (mal mutaqowwam), dapat diketahui (ma’lum ) dan milik sempurna (tidak dalam keadan khiyar).
c.       Mauquf ‘Alaih (orang yang di wakafi)[5] yaitu adakalanya orang tertentu dan adakalanya umum.
d.      Shighot : Apakah akad wakaf membutuhkan ijab dan qobul?. Ulama sepakat bahwa akad wakaf hanya membutuhkan ijab saja jika untuk wakaf yang ditujukan bagi pihak yang tidak tertentu.(ghoiru mu’ayyan). Adapun wakaf yang ditujukan bagi pihak tertentu (mu’ayyan) ulama berbeda pendapat : Menurut Hanafiyyah dan Hanabilah dalam keadaan seperti itu wakaf hanya membutuhkan ijab saja. Sedangkan menurut Syafiiyyah dan Malikiyyah, mereka masih tetap mensyaratkan adanya ijab dan qobul.
Adapun syarat shigot dalam wakaf[6] adalah: Ta’bid (untuk selama-lamanya), tanjiz (tidak digantungkan kepada kejadian tertentu), ilzam (tidak ada khiyar), tidak disertai syarat yang membatalkan wakaf dan menurut Syafi’iyyah dalam qoul adharnya di tambah dengan adanya penjelasan tentang mashrof  wakaf (orang yang di beri  wakaf).
2.3 Macam-macam Wakaf
1)      Dari segi tujuannya, wakaf bisa dibagi menjadi: ahly/dzurry (kekerabatan), khoiry (sosial) dan musytarok (gabungan anatara keduanya).
2)      Dari segi waktu, wakaf bisa dibagi menjadi: muabbad (selamanya) dan mu’aqqot (dalam jangka waktu tertentu).

Dari segi penggunaan harta yang diwakafkan, wakaf bisa di bagi menjadi: mubasyir/dzati (harta wakaf yang menghasilkan pelayanan masyarakat dan bisa digunakan secara langsung seperti madrasah dan rumah sakit) dan istitsmary (harta wakaf yang ditujukan untuk penanaman modal dalam produksi barang-barang dan pelayanan yang dibolehkan syara’ dalam bentuk apapun kemudian hasilnya diwakafkan sesuai keinginan waqif).[7]
2.4 Dalil Wakaf

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al-Baqarah: 267)
   

Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS. Al-Hajj: 77)

Hadits yang diiriwayatkan oleh Jama’ah; yang mana hadits itu menyebutkan bahwa Umar pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, kemudian ia bertanya (kepada Rasulullah): “Ya Rasulullah, , saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, suatu harta yang belum pernah kudapat sama sekali yang lebih baik bagiku selain tanah itu, lalu apa yang hendak engkau perintahkan kepadaku?” Kemudian Nabi menjawab; “Jika engkau mau, tahanlah pangkalnya dan sedekahkan hasilnya. Kemudian Umar menyedekahkannya dengan syarat tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan. Adapun hasilnya itu disedekahkan untuk orang orang fakir dan keluarga dekat, untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk menjamu tamu, untuk orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan (ibnussabil) dan tidak berdosa orang yang mengurusinya itu untuk memakan sebagiannya dengan cara yang wajar dan untuk memberi makan (kepada keluarganya) dengan syarat jangan dijadikan hak milik.” Dalam satu riwayat disebutkan bahwa harta yang diwakafkan tersebut tidak boleh dikuasai pokoknya (Asy Syaukani, Jilid IV: 127).

2.5 Yurisprudensi Wakaf

1)       Kasus Sengketa Tanah Wakaf Untuk Muenasah di Aceh
Pada tahun 1922, alm. Dadeh bin Ben Blang semasa hidupnya mewakafkan sepetak kebun untuk Meunasah (semacam surau) desa paloh, yang diterima oleh Tgk. Imam haji dayah dan kebun itu terletak di desa paloh, kemukiman Sp. II, Kecamatan Peusangan, Kab Aceh utara. Setelah lama tanah itu diwakafkan kepada meunasah, tepat pada tanggal 31 juli 1984 tanah wakaf tersebut akan dibangun meunasah yang baru oleh masyarakat desa paloh. Namun sebelum pembangunan dimulai, Ja’far bin Ibrahim menyengketakan tanah wakaf tersebut dengan dalih bahwa kakek dan neneknya (dadeh bin blang) tidak pernah mewakafkan tanah kebun keluarganya untuk meunasah. Dalam kasus di atas sengketa tanah wakaf di aceh. Pengadilan Agama Bireuen  memutuskan bahwa tanah itu sudah diwakafkan, yang dalam artian tanah wakaf itu sudah sah menjadi tanah wakaf untuk masyarakat desa paloh untuk membangun meunasah sesuai keinginan alm, Dadeh Bin Blang. Dan setelah melalui proses banding, keputusan tersebut dikukuhkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Tk. 1 Aceh dan selanjutnya oleh Mahkamah Agung.[1][1]

2)       Kasus Sengketa Tanah Wakaf Untuk Kuburan
Penggugat, Abdullah bin luthan umur 59 tahun, pekerjaan imam desa/BHA desa Mns. Tanjong ara, kab. Aceh utara, dengan surat gugatannya tertanggal 19 Desember 1989, terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Lhoksukon, dengan No. 1/G/1990/PA-LSK, telah mengajukan, bahwa dalam tahun 1926, beberapa orang penduduk desa tanjong ara, kec. Tanah jambo aye, yang terdiri dari Ampon A. Wahi, Pa. Tulot, Pr. Katijah, Pr. Ubit, mereka telah secara bersama-sama mewakafkan sebidang tanah kebun untuk tempat pekuburan kaum muslimin desa tanjong ara, serta untuk tempat pendidikan agama islam. Bahwa kebun tersebut, terletak di desa tanjong ara, kec. Tanah jambo aye, kab. Aceh utara. Bahwa kemudian, dalam tahun 1971 oleh M. Nafi Abdullah, beserta beberapa orang anggota masyarakat desa tanjong ara menukarkan tanah wakaf tersebut dengan tanah sawah milik Tgk. Abdurrahman (Tergugat). Oleh sebab itu tanah kebun (wakaf) tersebut sekarang dikuasai oleh tergugat, sedangkan tanah sawah itu dikuasai oleh masyarakat. Bahwa semula pertukaran tersebut dimaksudkan agar tergugat selaku orang yang memiliki pengetahuan agama islam mempergunakan tanah itu sebagai tempat pendidikan agama islam. Akan tetapi ternyata tanah itu tidak di fungsikan sebagai tujuan pemberi wakaf. Bahwa oleh karena hal-hal tersebut, maka penggugat selaku ketua BHA desa tanjong ara memohon pada Pengadilan Agama Lokhsukon agar berkenan menetapkan bahwa tanah kebun terperkara adalah tanah kebun wakaf untuk masyarakat desa tanjong ara, dan memerintahkan tergugat untuk mengembalikan tanah wakaf tersebut kepada masyarakat Desa Tanjong Ara.
Pihak tergugat dalam jawabannya menegaskan, bahwa tanah kebun terperkara sekarang berada dalam kekuasaan tergugat, karena pada tahun 1971 oleh Keuchik Nafi Abdullah selaku Keuchik desa Tanjong Ara, telah menukarkan tanah kebun terperkara dengan tanah sawah milik tergugat yang terletak di desa tanjong ara. Bahwa terjadinya penukaran tanah kebun terperkara dengan tanah sawah tergugat, menurut tergugat adalah sah, karena tanah kebun terperkara bestatus tanah musara, bukan tanah wakaf. Bahwa tergugat berdalih tanah kebun terperkara adalah tanah musara, karena pada suatu saat seorang laki-laki bernama Ampon H. Wahi, mempunyai sebidang tanah kebun lalu di berikannya untuk masyarakat Desa Tanjong Ara. Bahwa kemudian oleh anak-anak Ampon H. Wahi ketika mendirikan rumahnya pada kebun yang terletak berdekatan dengan tanah yang telah diberikan (diwakafkan) untuk kepentingan masyarakat Tanjong Ara tersebut, sebagian rumah yang dibangun itu terkena tanah kebun yang telah di wakafkan, maka oleh Ampon H. Wahisecara bermusyawarah dengan masyarakat desa tanjong ara, memberikan tanah lain untuk kepentingan masyarakat, yaitu tanah miliknya sendiri yang bukan tanah kebun terperkara sekarang.
Perkara ini telah diputuskan oleh Pengadilan Agama Lhoksukon dalam putusannya No. 1/P/1990/PA-LSK dengan menetapkan bahwa tanah terperkara adalah tanah wakaf untuk masyarakat desa tanjong ara dan dalam keputusannya No 210/G/1990/PA/LSK, tanggal 5 Desember 1990 dengan amarnya natara lain, menghukum tergugat untuk menyerahkan tanah wakaf tersebut kepada penggugat sesuai dengan putusan Pengadilan Agama No. 1/P/1990/PA-LSK. Keputusan ini tidak diterima oleh tergugat dan naik banding ke Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh. PTA Banda Aceh dalam putusannya NO 30/1990 telah menguatkan putusan Pengadilan Agama Lhoksukon tersebut. kemudian tergugat mengajukan permohonan Kasa[2][2]si ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung menolak permohonan Kasasi tersebut.








[1] Zein, Satria Effendi M. PROBLEMATIKA HUKUM KELUARGA ISLAM KONTEMPORER Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah. Prenada Media, Jakarta 2004. Hal  411-412
[2] Ibid hal 430-431

[1] Al-kasibi, muhammad abid abdullah. Ahkam Al-Waqf Fi Al-Syari’ah Al-Islamiyah. IIMaN, Jakarta 2003. Hal 37
[2] Ibid hal 38-59
[3] Al-Zuhaili Wahbah Al-Fiqh al-Islami, Dar al-Fikr, Beirut. jilid VIII hal. 156-157
[4] Ibid. Hal 184
[5] Ibid, hal 189
[6] Ibid, hal 157-158
[7] Mundir Qohf. Al-Waqof al-Islami, Dar al-Fikr, Beirut. Jilid 1 hal 158-159

1 komentar:

  1. apakah UU41/2004 pasal 41 dan pasal 67 dapat dibuktikan apabila seorang nadzir melakukannya.....

    terima kasih

    BalasHapus