Social Icons

Pages

Rabu, 03 Agustus 2011

AL-QUR’AN DAN KONDISI MASYARAKAT ARAB

PEMBAHASAN
            Dalam pembahasan ini ada beberapa hal yang sangat penting untuk di ketahui dalam kaitannya dengan al-Quran dan kondisi masyarakat Arab. Al-Quran yang di turunkan di Jazirah Arab tidak terlepas dari pengaruh kondisi masyarakat Arab pada waktu  itu, beberapa hal yang perlu di ketahui adalah:

a. kondisi masyarakat Arab sebelum turunnya al-Quran
            Arab yang terletak di persimpangan tiga benua semenanjung Arab, menjadi tempat yang sangat mudah dikenal di dunia internasional. Jazirah ini dibatasi oleh Laut merah ke sebelah barat, teluk Persia ke sebelah timur, Lautan India ke sebelah selatan dan Suriah dan Mesopotamia ke sebelah utara. Menurut Jawad Ali yang di kutip oleh Musthafa A’zami, bahwa dahulu Jazairah Arab merupakan tanah yang gersang akan tumbuh-tumbuhan dan merupakan pegunungan Sarawat yang melintasi garis pantai sebelah barat. Namun, meskipun merupakan pegunungan yang tidak berair, beberapa sumber pencahariannya terdapat di bawah tanah tersebut yang membuat mereka hidup dalam ketenangan dan menjadi tempat pemukiman bangsa Arab dan kafilah-kafilahnya.
            Dalam sejarahnya, Jazirah Arab sejak awal sebenarnya telah dihuni oleh penduduk teluk Persia yang kemudian membangun perkotaan di daerah tersebut. Hal ini terjadi pada abad ketiga sebelum masehi. Para ilmuan mengatakan bahwa wilayah tersebut sebagai tempat kelahiran suku bangsa Semit, meskipun sebenarnya terjadi perbedaan pendapat di kalangan para sejarawan. Istilah Semit mencakup beberapa kawasan yaitu; Babilonia, Jazirah Arabia, Afrika, Amuru, Arminia, bagian selatan Jazirah Arabia dan Eropa.
            Menurut Philip Hitti, dalam karyanya yang berjudul, Sejarah bangsa Arab yang kemudian dikutip oleh Al-A’zami menyebutkan,
            “kendati istilah Semit muncul belakangan di kalangan masyarakat Eropa, hal tersebut biasanya di alamatkan pada orang-orang Yahudi karena yang berkonsentrasi di Amerika. Sebenarnya lebih tepat ditujukan pada penduduk bangsa Arab yang memiliki nilai lebih dari pada kelompok lain dan mendapat ciri bangsa Semit secara fisik, kehidupan, adat istiadat, cara piker dan bahasa”.
            Meskipun Jazirah Arab sejak semula telah terbentuk sebagai ‘negara perkotaan’ oleh penduduk teluk Persia, tetap merupakan masyarakat kesukuan hingga terutusnya Nabi Mohammad saw. Sistem kependudukan masyarkat Arab dibangun menurut kabilahnya masing-masing, dimana anak-anak dari satu suku dianggap saudara yang memiliki pertalian hubungan darah. Setiap anggota merupakan asset seluruh kabilah, munculnya penyair kenamaan, pemberani, akan membuat kehormatan dan nama baik seluruh garis keturunannya.
Namun, hal tersebut hanya terfokus pada kalangan tertentu dan kabilah tertentu, mengingat belum adanya bentuk pemerintahan yang dapat mengatur masyarakat Arab secara umum dan merata oleh seorang penguasa, sebab masyarakat Arab sebelum diturunkannya al-Qur’an, tidak mempunyai sistem dan acuan yang baku dalam pemerintahan seperti yang kita kenal saat ini.
Masyarakat Arab menjelang diturunkannya al-Qur’an, tidak merasa aman dan akrab melihat perubahan-perubahan yang terjadi pada saat itu terutama perubahan dibidang agama. Sejak berabad-abad mereka menyembah berhala-berhala, baik pada masa kehadiran pemukiman maum Yahudi maupun upaya-upaya kristenisasi yang muncul dari Syria dan Mesir.
            William Muir dalam bukunya yang berjudul The Life of Mahomet, yang kemudian dikutip oleh Al-A’zami, menyebutkan bahwa kehadiran kaum Yahudi atau keberadaan mereka membantu menetralisasi tersebarnya ajaran Injil dengan melalui dua tahapan; Pretama, dengan memperkuat diri sendiri di sebelah utara perbatasan Arab, untuk itu, mereka membuat penghalang antara ekspansi Kristen ke utara dan penghuni kaum penyembah berhala di sebelah selatan. Kedua, para penyembah berhala bangsa Arab telah melakukan kompromi dengan agama Yahudi dalam memaukkan cerita-cerita legendaris kedalam agama mereka. Namun pernyataan ini akhirnya dibantah oleh Al-A’zami dengan menolak teori pendapat William Muir tersebut.
            Mengenai keadaan social ekonomi yang terjadi sebelum diturunkannya al-Qur’an, dapat digolongkan menengah ke atas, dikarenakan Mekah pada saat itu merupakan pusat kehidupan sosial, khususnya di bidang perekonomi. Keberadaan Makkah yang merupakan pusat perekonomian dan perdagangan, memperkuat bukti bahwa bangsa Arab menjelang kehadiran al-Quran telah mengalami kemajuan dalam banyak bidang. Hal ini sangat berpengaruh pada pembentukan tradisi Islam yang meliputi; 1) kesucian Makkah dan Ka’bah. wilayah Makkah dan sekitarnya dianggap sebagai tempat suci dan memiliki label sebagai tanah haram, khususnya disekitar Ka’bah. 2) Makkah sebagai pusat perekonomian. Berkenaan dengan hal ini, al-Quran surat al-Quraisy menyebutkan bahwa, orang-orang Quraisy  berdagang pada musim panas ke Syria dan pada musim dingin ke Yaman. Perkembangan ini disebabkan oleh posisi geografis yang berada tengah rute perjalanan dagang dan adanya jaminan keselamatan. Di wilayah Makkah dan sekitarnya terdapat larangan pertumpahan darah yang pada waktu itu mudah sekali terjadi, kalaupun terpaksa harus melakukannya di luar sekitar Makkah  sehingga memudahkan dalam berdagang. 3) perilaku terhadap harta benda. Sebagai pusat perdagangan tidak mengherankan apabila dikalangan masyarakat Arab, khususnya di Makkah banyak terdapat konglomerat dan orang kaya.

b. Masyarakat Arab Saat Turunnya Al-Qur’an 
            Masyarakat Arab dalam al-Qur’an disebut sebagai mayarakat Ummiyyin. Qurqisy Syihab dalam bukunya yang berjudul Mukjizat al-Qur’an menyatakan bahwa kata ummiyyin  merupkan bentuk jama’ dari kata Ummi yang diambil dari kata umm yang artinya adalah ibu. Hal ini dimaksudkan adalah bahwa seorang ummi keadaanya sama dengan keadaan pada saat ia dilahirkan oleh seorang ibunya dalam hal kemampuannya membaca dan menulis. Dalam hadits diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda;
 انا امة امية لا نكتب ولا نحسب, الشهر هكذا وهكذا وهكذا
“kami umat yang ummi tidak pandai menulis, tidak juga pandai berhitung. Bulan begini, begini dan begini.”
            Kemampuan membaca dan menulis dikalangan Masyarakat Arab, khusunya pada awal turunya al-Quran, sangat minim. Hal ini disebabkan karena jarangnya alat tulis menulis pada masa itu, sehingga mereka banyak mengandalkan kemampuan hafalan. Kemampuan menghafal pada saat itu dijadikan sebagai tolok ukur kecerdasan dan kemampuan ilmiyah seseorang, sehingga pada masa itu banyak ditemukan penyair-penyair.
            Sumber sejarah lain menjelaskan bahwa Nabi Mohammad saw diturunkan oleh Allah ke dalam suatu komunitas masyarakat yang dikenal dengan istilah masyarakat Arab Jahiliah. Secara bahasa, istilah jahiliah berasal dari kata Bahasa Arab Jahala yang berarti bodoh dan tidak mengetahui atau tidak mempunyai pengetahuan. Namun dalam realitas yang sesungguhnya, secara faktual saat itu masyarakat Arab yang dihadapi oleh Nabi Mohammad saw  bukanlah masyarakat yang bodoh atau tidak mempunyai pengetahuan. Buktinya pada saat itu sastra dan syair berkembang dengan pesat di kalangan mereka. Setiap tahun diadakan festival-festival pembacaan puisi dan syair, ini membuktikan bahwa orang-orang Arab ketika itu sudah banyak yang mengetahui baca dan tulis. Selain itu mereka juga mampu membuat tata kota dan tata niaga yang sangat baik. Hal ini semakin menguatkan bahwa mereka kaum Quraisy bukanlah orang-orang bodoh dan tidak berpengetahuan. Dapat dipahami, bahwa sebenarnya mereka adalah masyarakat yang sedang berkembang peradabannya.
            Yang dimaksud masyarakat Jahiliyah disini adalah masyarakat yang jahil dalam segi akidah dan akhlak. Kejahilan yang terjadi ribuan tahun itu ternyata juga kembali terjadi di zaman sekarang, sehingga zaman globalisasi ini sering pula disebut dengan istilah jahiliah modern. Terjadinya berbagai dekadensi moral di berbagai bidang merupakan karakteristik utama yang menjadikan masyarakat modern ini kembali ke kehidupan jahiliah. Untuk lebih memahami apa yang disebut masyarakat jahiliah ini perlu kiranya kita mengkaji lebih dalam apa saja karakteristik dan perilaku dari masyarakat tersebut. Al-Qur’an sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia telah memberikan tuntunan bagi manusia dalam berbagai aspek kehidupan.
            Masyarakat Arab, khususnya yang berada di lingkungan Makkah dapat dikatakan sangat terisolasi dari masyarakat-masayrakat lain yang relatif ketika itu sudah maju, seperti mesir, persia, iraq dan cina. Menurut Quraisy Shihab, adanya pedagang Arab yang melakukan perdaganagannya di Yaman dan Syam tidak menghasilkan pengaruh apa-apa dalam bidang ilmiyah. Kalaupun ada, sangat sedikit apalagi semua orang tahu bahwa perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat baru akan terjadi setelah umat manusia memasuki abad modern.
            Masyarakat non Arab yang relatif lebih maju juga bukan berarti bahwa mereka telah menguasai ilmu pengetahuan, tetapi pada hakikatnya mereka tidak memiliki ilmu pengetahuan karena ilmu yang terdapat dalam warisan kebudayaan Mesir, India, China, Yunani dan Persia hanyalah hasil peranungan, pengamatan sepintas dan coba mencoba. Mesir Kuno memang telah berhasil membangun Piramida-piramida yang mengagumkan, sistem irigasi, serta ilmu bintang yang lumayan, tetapi itu semua adalah hasil perenungan. Demikian juga China yang dalam banyak hal lebih maju daripada Mesir, tetapi pengetahuan mereka lebih banyak bercorak kudus (suci) sebagai pemberian dewa yang mereka percayai bukan hasil ikhtiar secara sistematis ilmiah atau objektif empirik. India lebih cenderung kepada mistik dan upaya bersemedi, Persia pun demikian. Sedangkan pengetahuan Yunani lebih banyak bersifat filosufis
            Jika demikan, menurut pandangannya Quraish Shihab, pengetahuan masyarakat non-Arab pada masa turunnya al-Quran bukan atas dasar metode ilmiah yang sistematik atau pengamatan hasil percobaan-percobaan dalam dunia empiris. Semuanya itu kemudian mengantarkan ilmuwan untuk berkata bahwa masyarakat Arab secara umum belum memiliki ilmu pengetahuaan dalam arti yang sebenarnya. Memahami kondisi masyarakat dan perkembangan pengetahuan pada masa turunnya al-Quran akan menunjang bukti kebenaran al-Quran saat disadari. Betapa kitab suci ini memaparkan hakikat-hakikat ilmiah yang tidak dikenal, kecuali pada masa-masa terakhir ini.
            Kehadiran wahyu al-Quran kepada Nabi Muhammad Saw, di tengah-tengah masyarakat Arab yang notabine masih belum memiliki ilmu pengatahuan yang sebenarnya, membutuhkan penjelasan terhadap sesuatu yang sedang dihadapinya. Turunnya al-Qur’an tidak selalu bersamaan dengan apa yang di kehendaki oleh Nabi Mohammad saw dalam menjelaskan atau memutuskan suatu perkara yang sedang terjadi dan atau berkenaan dengan pertanyaan seorang, tetapi ada beberapa ayat al-Qur’an yang turun setelah sekian lama dinanti oleh Nabi Mohammad saw.
Hal tersebut seperti yang terjadi setelah sepuluh kali menerima  wahyu yang dimulai dengan awal Surah; 1) Iqra’. 2) Al-Qalam. 3) Al-Muddatstsir. 4) Al-Muzamil. 5) Al-Masad. 6) At-Takwir. 7) Al-A’la. 8) Alam Nasyrah. 9) Al-‘Ashr, dan 10) Al-Fajr, tiba-tiba wahyu terputus. Sekian lama beliau menanti dan mengharap, tetapi Jibril sang pembawa wahyu, tidak kunjung datang, maka timbul rasa gelisah di hati Nabi Mohammad saw. Sedemikan besar kegelisahan itu sehingga, menurut sebagian ahli sejarah, beliau nyaris menjatuhkan dirinya dari puncak gunung. Sehingga orang-orang musyrik makkah mengejek beliau dengan mengatakan “Tuhan telah meninggalkan Mohammad dan membencinya.” Kegelisahan itu baru kemudian berakhir dengan turunya ayat al-Qur’an surat Adh-Dhuha 1-3. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad tidak mampu untuk menghadirkan wahyu al-Quran dengan sendirinya tanpa kehendak Allah.
            Selain contoh kejadian diatas, ada satu kejadian yang juga menunjukkan betapa Nabi Mohammad saw tidak mampu menghadirkan wahyu sesuai dengan apa yang beliau harapkan seketika tampa kehendak Allah, yaitu pada suatu ketika orang-orang Musyrik di Makkah mendatangi Nabi Mohammad saw dan bertanya kepadanya dengan tujuan menguji beliau. Pertanyaan tersebut menyangkut tiga hal yaitu; Pertama tentang sekelompok pemuda yang menghilang. Kedua tentang Dzul Qarnain. Ketiga mengenai Ruh. Nabi Mohammad saw. berjanji akan menjawab keesokan harinya dengan harapan wahyu akan turun menjelaskan akan hal tersebut, tetapi beliau tidak mengatakan kata Insya Allah. Lima belasa hari lamanya Nabi tidak mampu menjawab karena wahyu yang diharapkannya tidak kunjung datang, kemudian wahyu pun turun disertai teguran. 

c. Kondisi Masyarakat Arab setelah Turunnya Al-Qur’an
            Kehadiran al-Qur’an di tengah-tengah masyarakat Arab yang pada waktu itu masih kental dengan tradisi kejahiliyahannya, sangat berpengaruh pada perubahan sosio-budaya, memperbaiki sistem-sistem hukum yang telah ada sebelumnya, dan menghapus hukum-hukum yang betentangan dengan al-Qur’an maupun dengan prikemanusiaan. Kehadiran al-Qur’an (Islam) ini mendapat respon positif dari kalangan masyarakat yang menghendaki perubahan maupun kalangan masyarakat yang menjadi penopang hukum Jahiliyah yang telah ada.
            Dalam sejarahnya dikatakan bahwa, pada awalnya orang-orang yang berpengaruh terhadap kehadiran al-Qur’an (Islam) terdiri dari beberapa anggota keluarga dekat Nabi Mohammad saw, orang-orang lemah, dan beberapa budak. Orang-orang jahiliyah menyambut baik kehadiran al-Qur’an, termasuk orang migran dan orang miskin, karena mereka merasa tidak puas dengan kondisi moral dan kondisi sosial yang ada waktu itu dan kemudian menerima dan mengikuti apa yang di bawa oleh Nabi Mohammad saw. 
            Al-Quran memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan akidah, syariah, dan akhlak mereka, dengan cara meletakkan dasar-dasar prinsip mengenai persoalan-persoalan tersebut, Allah swt mengutus Nabi Mohammad saw., untuk kemudian memberikan keterangan yang lengkap mengenai dasar-dasar tersebut; seperti yang  terdapat dalam firman-Nya, yang artinya; "Kami telah menurunkan kepadamu Al-Dzikr (Al-Quran) untuk kamu terangkan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir."
            Disamping keterangan yang diberikan oleh Nabi Mohammad saw tersebut,  Allah swt juga memerintahkan kepada suluruh umat manusia agar memperhatikan dan mempelajari Al-Quran. Hal ini juga banyak di singgung dan di terangkan dalam al-Qur'an seperti yang terdapat dalam firman-Nya; "Tidaklah mereka memperhatikan isi Al-Quran, bahkan ataukah hati mereka tertutup."
            Menurut Mustofa Umar dalam artikelnya, bahwa kondisi riil masyarakat Arab yang hidonistik dan meterialistik sama sekali tidak membuat Muhammad tercebur ke dalam pola hidup yang demikian. Untuk itulah mengapa dia dikatakan dengan ummi karena keterasingannya dengan tradisi dan budaya yang dianut oleh masyarakatnya. Sikap menjaga jarak dengan tradisi yang berlangsung dalam masyarakat telah mencetak kepribadinya untuk selalu berfikir. Bagaimanapun sikap tersebut telah mengantarkan dirinya menjadi orang yang paling sadar akan kekacuan yang terjadi. Kegelisahan dan ketersiksaan pikiran telah mendorong dirinya untuk merenungkan apa yang harus beliau perbuat. Upayanya dalam berkontemplasi secara teratur mendapatkan penghargaan dari Allah dengan diturunkannya wahyu sebagai pertanda atas anugrah dan tanggung jawab kenabian. Dengan demikian pengangkatan Muhammad sebagai Nabi  dan Rasul sangat obyektif dan rasional. Seandainya dia tidak diangkat sebagai Nabi, masyarakat telah menaruh kepercayaan terhadap kepribadiannya yang ditunjang oleh klain suku Mohammad yang paling terhormat.
            Setelah masyarakat Arab mulai mengenal al-Qura’n yang di ajarkan oleh Nabi Mohammad saw, mereka mulai merubah kondisi mereka yang sebelumnya penuh dengan permusuhan, memutus hubungan kekeluargaan, dan pertumpahan darah antar yang satu dengan yang lain, antar kabilah yang satu dengan kabilah yang lain, dengan menjalin silturrahim antar keluarga yang sempat terputus, mengajak orang-orang musyrik ke jalan yang benar secara bertahap.
            Tetapi, ada banyak masyarakat Arab yang tidak peduli dengan al-Qur’an bahkan memusuhi orang yang membawa al-Qur’an, seperti yang terjadi pada awal turunnya al-Qur’an dan Nabi Mohammad saw mulai menyebarkan agama Islam, banyak terjadi pertentangan-pertentangan dan penolakan terhadap ajaran al-Qur’an yang yang di bawa oleh Nabi Mohammad saw. Mereka menganggap bahwa al-Qur’an menyalahi ajaran nenek moyang mereka yang telah bertahun-tahun di anut oleh bangsa Arab, khususnya kaum Quraisy. Kaum Quraisy yang pada waktu itu mendominasi bangsa Arab tidak mudah menerima ajaran baru yang di bawa oleh al-Qur’an. Sebab mereka beranggagapan bahwa al-Qur’an adalah buatan dan kebohongan yang di buat-buat oleh Nabi Mohammd saw, sehingga mereka menentang habis-habisan terhadap al-Qur’an, bahkan mereka menyiksa Nabi Mohammad saw dan orang-orang yang beriman kepadanya.
            Penolakan kaum Quraisy pada al-Qur’an bukan hanya karena faktor al-Qur’an di anggap ajaran baru oleh mereka, tetapi sebenarnya mereka menolak al-Qur’an karena jika mereka mengikuti al-Qur’an, mereka akan merasa tersaingi dan merasa hina di kalangan bangsa Arab, sebab bagaimana mungkin ajaran yang sekian lama mereka anut ditinggalkan dan di hapus oleh al-Qur’an yang masih belia.
            Tidak sedikit mereka yang menolak kedatangan al-Qur’an pada waktu itu, bahkan sampai sekarangpun, masih banyak orang-orang yang menghina al-Qur’an dan menginjak-injaknya di depan umum. Mereka terus menerus berusaha menghancurkan Islam dengan segala cara. Salah satu cara yang mereka lakukan adalah berusaha merubah dan mengurangi atai bahkan menambah ayat, huruf dan lain sebagainya. Namun, usaha mereka tidak membuahkan hasil apa-apa. Oleh karena kegagalannya itulah mereka menghina dan menginjak-injak al-Qur’an.
            Cara lain yang mereka lakukan untuk menghancurkan Islam adalah mereka berusaha menjauhkan orang-orang Islam dari pegangan mereka sendiri, terutama kalangan pemuad-pemudi yang sangat mudah di pepngaruhi. Orang-orang yang ingin menghancurkan Islam, memasukkan bebagai macam budaya, baik budaya pemikiran maupun budaya lainnya. Mereka tidak akan merasa puas sebelum orang-orang Islam mengikuti langkah-langkah mereka. 

PENUTUP
            Dari beberapa uraian diatas, dapat di tarik kesimpulan bahwa turunnya al-Qur’an tidak dapat terlepas dari kondisi masyarakat Arab pada waktu itu, baik di bidang politik, ekonomi, budaya, agama dan lain sebagainya, baik sebelum atau setelah turunya al-Qur’an.  Di bidang politik misalnya, Masyarakat Arab sebelum turunnya al-Qur’an tidak memiliki sistem dan acuan yang baku dalam bentuk pemerintahannya, hal ini tidak mempengaruhi perkembangan yang berarti dalam dunia politik. Namun, di bidang ekonomi, masyaraka ini mengalami kemajuan dikarenakan letak geografisnya berada di persimapangan tiga benua yang menjadi jalur perdangan.
            Sebelum turunnya al-Qur’an, keadaan masyarakat Arab berada dalam keadaan kebodohan dan sering terjadi permusuhan yang pada akhirnya mengakibatkan peperangan yang berkepanjangan. Kondisi keagamaanpun juga mengalami hal yang sama, yaitu ada banyak kepercayaan pada saat itu.
            Al-Qur’an turun di tengah-tengah masyarakat yang sedang di landa krisi moral dan rusaknya akidah, dengan membawa perubahan yang memang mereka nantikan. Perubahan ini tidak hanya dalam tatanan social, tetapi juga menyangkut individu. Al-Qur’an menghapus budaya-budaya yang bertentangan dengan prikemanusiaan, kepercayaan-kepercayaan terhadap Tuhan selain Allah swt, serta menerangi jalan mereka menuju keridhaannya.
            Memahami kondisi masyarakat Arab sangat penting mengingat Jazirah Arab menjadi tempat turunnya al-Qur’an, sebab memahami al-Qur’an tidak terlepas dari keadaan dimana ia di turunkan.



Daftar rujukan

1. Al-A’zami. M.M, 2005, The History of The Qur’anic Text From Revelation To Compilation (Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi), Jakarta; Gema Insani.
2.Shihab, M. Quraish, 2007, Mu’jizat Al-Qur’an, Bandung; mizan.
3.Faiz, Fahruddin, Hermeneotika Al-Qur’an, Yogyakarta; eLSAQ Press.
4.Zaid, Nasr Hamid Abu, 2005, Tekstualitas Al-Qur’an, Yogyakarta; LkiS.
5.Hasan, Ibrahim Hasan, 2002, Sejarah dan Kebudayaan islam.      
6.http://uin-suka.info/ejurnal/index.php?option=com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar