Social Icons

Pages

Rabu, 03 Agustus 2011

Pelita Hidupku

Dulu aku adalah orang yang tempramen. Aku paling tidak suka jika mendengar omelan orang tuaku. Setiap mereka meminta tolong untuk mengambilkan sesuatu, aku selalu cuek dan mengabaikan seolah tidak terjadi apa-apa. Memang sebagian orang menilai kenakalanku saat itu sebagai kenakalan anak-anak yang masih belum mengerti apa arti orang tua di sisihku. Dalam artian aku masih belum dewasa. Jadi kenakalanku dapat dimaklumi tetangga rumahku. Mengetahui hal itu, aku semakin merajalela di rumahku. Hingga suatu saat ayahku berinisiatif untuk memondokkanku di suatu pondok pesantren yang jauh dari kota tempat tinggalku. Inisiatif ini disambut positif oleh ibuku. Jadilah aku disekolahkan di Pesantren yang lataknya jauh dari tempat dimana aku tinggal.
Semuanya berawal dari situ. Penyesalan seolah tumbuh menghantui kehidupanku. Aku sadar betapa berdosanya diriku. Aku sadar betapa durhakanya aku terhadap ayah dan ibu. Tiap malam aku hanya dapat menangisi kekeliruanku. Air mata seolah tiada henti mengalir di pipiku. Rasa bersalahku bercampur aduk dengan rasa rinduku pada mereka. Aku tidak kuat menghadapi kehidupan mandiri saat ini. Aku tidak mau tinggal berjauhan dengan kedua orang tuaku. Aku ingin berhenti dan keluar dari pondok yang baru kumasuki dua minggu. Pikirku pada saat itu adalah aku akan berhenti dan berhenti dari pondok pesantren ini.
Keesokan harinya, aku menelpon rumahku ingin mengutarakan perihal ketidak sanggupanku hidup berjauhan dengan mereka. Namun sebelum itu terjadi, mulutku kaku ketika mendengar suara ibu di seberang telpon. Air mataku kembali mengucur. Keinginan untuk keluar dari pesantren kuurungkan. Aku lebih memilih sengsara dari pada harus mengecewakan ibu. Pada saat itu, aku berfikir bagaimana susahnya mereka mencari uang untuk mendaftarkanku dalam pondok pesantren ini. Aku tidak bisa, aku harus tetap bertahan. Aku tidak boleh menyia-nyiakan perjuangan mereka. Aku kembali menangis, tiada omongan yang berarti saat itu. Ibu hanya diam menunggu tangisku reda. Setelah itu, dalam sesekali aku hanya bisa berucap “Bu, aku tidak betah!!” sambil diiringi tangis yang tidak berkesudahan. Akhirnya aku lebih memilih betahan dan berusaha semaksimal mungkin untuk membahagiakan orang tua.
Mengingat kenangan itu semua. Aku jadi teringat pada ucapan almarhumah buyutku. Beliau selalu mengajariku untuk tidak lupa sama 4 hal, yaitu: “Buppa’, Bhabu, Ghuru, Rato” (Ayah, Ibu, Guru, Raja). Sehebat apapun dirimu dan sebodoh apapun. Jangan pernah mengabaikan 4 hal ini. Tanpa 4 hal ini kehidupanmu tidak akan berjalan seperti sekarang. Hormatilah mereka, karena ke 4 itu saling mengisi jika yang satu tidak ada. Camkan itu di hati bukan di pikiran. Begitulah pesan ajaran buyutku semasa beliau masih hidup. Dulu aku memang tidak terlalu menghayati 4 hal itu. Tapi sekarang aku sungguh merasakan, bagaimana peran hidupku ini jika tanpa 4 hal tersebut, terutama ayah dan ibuku.
Maafkanlah anakmu ini ayah. Ampunilah kedurhakaanku ini ibu. Aku sadar akan kekhilafanku dulu. Sungguh sebenarnya kalian sangatlah luar biasa di hatiku. Aku jadi sadar, kalau marah kalian bukanlah kebencian. Kejujuran kalian bukanlah kebohongan. Dan larangan kalian bukanlah kekangan. Itu semua adalah bentuk kasih saying kalian kepadaku. Ayah ibu.. di malam pertama ramadhan ini. Jika sekirannya aku berada di samping kalian. Aku ingin sekali memeluk erat kalian berdua. Ingin sekali kuciumi tangan kalian. Dan ingin sekali kubersimpuh di hadapan kalian. Inilah tanda hormatku yang tidak seberapa. Inilah tanda khidmatku terhadap kalian berdua. Aku sangat berterima kasih ketika kalian berdua mengirimku ke pondok pesantren. Karena itu membuat aku sadar betapa pentingnya kalian dalam hidupku. Kalian adalah pelita hidupku. Terima kasih atas apa yang telah engkau berikan padaku. Sungguh terasa manis pemberian yang telah kau berikan padaku. Terima kasih!!
Dan buat almarhumah buyutku, terima kasih banyak karena senantiasa mengajariku untuk tidak melupakan ke 4 hal di atas. Semoga amal perbuatan engkau diterima di sisi-Nya. Amien yaa Rabb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar