Social Icons

Pages

Sabtu, 24 September 2011

Kompetisi Fatwa

Fatwa begitu sering kita dengarkan baik di Televisi, siaran Radio dan berbagai Media Cetak seakan-akan seperti film yang ber-episode (Bersambung) yang tidak ada habisnya.
Anggapan sebagian masyarakat tentang putusan fatwa seolah-olah seperti ajang kompetisi antar mejelis yang satu dengan yang lainnya. Dimana yang satu mengeluarkan fatwa haram dan yang satu lagi juga mengikuti, seakan-akan ada rasa gengsi apabila tidak mengeluarkan fatwa juga. Tidak heran kalau banyak masyarakat merasa bingung untuk mengikut majelis yang mana, karena memang terlalu banyak fatwa yang dikeluarkan.
Dari setiap macam fatwa yang dikeluarkan/putuskan mulai dari MUI, Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Bahsul Masail NU selalu mengandung kontroversi, karena tidak adanya sosialisasi terlebih dahulu pada mesyarakat, yang akhirnya mengakibatkan perpecahan dalam umat Islam sendiri. Sebenarnya kalau mereka mau mensosialisasikan terlebih dahulu tentang putusan hukum yang akan mereka fatwakan pasti tidak akan terjadi yang namanya kontroversi, tapi mereka seakan-akan mengabaikan hal itu dan merasa enggan untuk melakukannya. Mereka lebih mengutamakan ego sendiri demi popularitas belaka dari pada harus capek-capek melakukan hal tersebut.
Tindakan ini sungguh sangat disayangkan mengingat kondisi masyarakat saat ini yang notabene sudah tidah tahu menahu dan bahkan tidak bisa membedakan mana yang halal dan mana yang haram membuat semua itu sia-sia. Karena biar bagaimanapun yang namanya dakwah pasti membutuhkan sebuah proses agar dapat diterima secara lapang dada oleh masyarakat awam dan bukan sebaliknya. Coba kita lihat pada masa turunnya wahyu (al-qur’an) ketika pengharaman khamr (sesuatu yang memabukkan), tidak serta merta wahyu turun langsung men-justis bahwa khamr itu haram, melainkan butuh proses yang sangat panjang dan pensosialisasian sebelum masuk pada tahap pengharaman tersebut.
Analoginya ibarat sebuah bambu, bila kita ingin membengkokkan sebuah bambu perlua adanya suatu proses pembakaran dan pengasapan agar ketika dibengkokkan tidak langsung patah, tanpa melalui proses demikian pasti hasilnya tidak akan memuaskan. Sama halnya dengan sungai, untuk menahan arus derasnya sungai perlu adanya proses penutupan secara perlahan, tanpa itu tanggul sekuat apapun pasti akan jebol oleh arus sungai.
Mestinya seperti MUI yang mengharamkan re-bonding, Majelis Tarjih yang mengharamkan rokok dan Bahsul Masail yang mengharamkan salon waria melakukan tindakan seperti halnya turunnya wahyu sebelum mengeluarkan fatwa haram, yaitu dengan metode sosialisasi terlebih dahulu sebelum menghukumi sebuah kasus agar nanti tidak terjadi tumpang tindih kedepannya.
Oleh karena itu pertimbangan sebuah maslahat perlu digunakan, karena kemaslahatan merupakan landasan hukum yang sangat penting dan satu-satunya jalan untuk mencapai Mufakat (Kesepakatan). Sebagaimana Ath-tufi mengatakan bahwa “kemaslahatan merupakan dalil yang qath’I (kuat/tetap)”. Maksudnya adalah bahwa segala sesuatu itu dilandaskan pada sebuah kemaslahatan bukan pada yang lainnya, apalagi dilandaskan pada ego, rasio dan jiwa kompetitif, itu jelas-jelas salah besar dan bisa berakibat pada keharaman seperti yang dilakukan para mufti saat sekarang ini.
Disfungsi Sebuah Fatwa di Negara Indonesia yang menganut system demokrasi dan hukum positif (civil & common Law) menjadikan Negara ini berpatokan pada sebuah hukum yang sudah di Undang-Undangkan. Selain dari keduanya semuanya hanya sebatas bumbu penyedap, atau sebagai pelengkap cita rasa sebuah hukum di Indonesia. Salah satu contohnya adalah Fatwa yang dikeluarkan oleh berbagai majelis seperti NU, Muhammadiyah, Persatuan Islam (PERSIS) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Secara umum dalam fatwa yang dikeluarkan oleh ahli fiqh dan majelis seperti MUI adalah persoalan-persoalan yang ada pada masa sekarang (Kontemporer) yang pada zaman dahulu (Klasik) tidak pernah ditemukan dan tidak pernah ada dengan mencari sumber-sumber hukum dengan menggunakan metode ushul fiqh yang sudah ditetapkan keilmuannya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Rohadi Abdul Fatah dalam bukunya yang berjudul “Analisis Fatwa Keagamaan; Dalam Fikih Islam” bahwa fatwa secara etimologis adalah jawaban atas suatu kejadian (memberikan jawaban yang tegas terhadap segala peristiwa yang terjadi di masyarakat) dan untuk melakukan itu sumber utamanya adalah al-Qur`an dan al-Hadits.
Akan tetapi kedudukan fatwa di Indonesia tidak mengikat layaknya hukum positif, karena sifat dari fatwa itu menurut KH. Arwani Faisal yang merupakan wakil ketua Lembaga Bahsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM-NU) adalah “sebagai petunjuk bagi masyarakat Muslim untuk bertindak dalam kehidupan social, sedangkan untuk keagamaan lebih bersifat ajakan. Dan fatwa bukan suatu hukum yang mengikat.” Jadi secara Hierarki kedudukan fatwa itu tidak ada dan tidak bisa mengikat setiap individu muslim, melaikan sebatas seruan untuk mengajak kepada jalan yang benar.
Dari sini dapat kita fahami bahwa fatwa mengalami disfungsi dalam Negara kita karena sudah tergantikan hukum positif yang hingga saat ini masih eksis menjadi landasan hukum, sehingga mengakibatkan banyaknya penolakan dari berbagai macam masyarakat. Oleh karena itu disamping fatwa mengalami disfungsi dalam Negara ini, harusnya ada sebuah sosialisasi terlebih dahulu karena takut akan terjadi hal yang merugikan antar pihak. Memang fatwa berkedudukan tidak mengikat, akan tetapi setiap fatwa yang dikeluarkan selalu mengandung kontroversi yang mengakibatkan polemik dikalangan masyarakat, dan ini akan menjurus pada negatif thingking pada tiap individu masyarakat Islam. Sehingga yang awalnya fatwa dikeluarkan untuk menatar, mangayomi serta mengajak masyarakat muslim untuk menjadi yang lebih baik, akan berubah menjadi sebuah ancaman dan pengekangan dalam persepsi masyarakat.
Jadi untuk kedepannya perlulah adanya sebuah sosialisasi sebelum mengeluarkan sebuah putusan hukum agar nantinya masyarakat dapat menerima dan mengamalkan fatwa tersebut, meski fatwa sendiri mengalami disfungsi dan tidak mempunyai kedudukan yang mengikat layaknya hukum positif dalam Negara ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar