Social Icons

Pages

Sabtu, 24 September 2011

Hukum Wanita Adzan

Hukum Wanita Adzan
Dalam sebuah bukunya yang berjudul Soal-JAwab jilid 3-4 A. Hassan pernah ditanya oleh seseorang mengenai bagaimana hukumnya wanit adzan?
Jawaban A. Hassan adalah “ Tiap-tiap perintah agama, pada asalnya mengenai kepaa laki-laki dan wanita, kecuali ada keterangan yang menentukan untuk laki-laki dan wanita.”
Begitu juga adzan, pada asalnya boleh dikerjakan oleh laki-laki dan wanita. Tetapi, dalam masalah ini ada dua pendapat, yang pertama berpendapat boleh dan yang kedua berpendapat tidak boleh.  Yang berpendapat tidak boleh, berkata bahwa hadits-hadits yang menyuruh adzan, semuannya dikenakan hanya pada laki-laki saja. Tidak ada satupun yang disuruhkan kepada wanita. Tambahan pula Nabi SAW bersabda:
Artinya; “Tidak ada (perintah)adzan dan iqmat atasa wanita ” (H.R An-Naj-Jad).
Ibnu Umar juga pernah berkata demikian, sabda Nabi SAW yang berbunyi
Artinya; “Sesungguhnya kelemahan dan aurat itu(sifat) wanita. Oleh karena itu, tutuplah kelemahan mereka dengan diam dan sembunyikanlah ‘aurat-‘aurat mereka dengan (tinggal) di rumah-rumah.”(H.R Al-Uqaili)
Dalam hadits ini ada perkataan “tutuplah kelemahan mereka denga diam” maksudnya, wanita-wanita tidak boleh mengeraskan suara-suara mereka. Dengan hadits ini, terang bahwa wanita tidak boleh beradzan, karena di dalamnya ada larangan wanita bersuara keras, sedangkan adzan biasanya diucapkan dengan suara lantang dan keras.
Sedangkan yang berpendapat wanita boleh beradzan, bahwa agama membolehkan adzan itu kepada umum, baik laki-laki maupun wanita tidak ada bedanya.
Adapun hadits yang diriwayatkan oleh An-Najjad itu, tidak kedapatan shahih.
Imam baihaqi dan Ibnu ‘Adi juga meriwayatkan hadits seperti itu, tetapi semuanya tercela, tidak dapat dijadikan alas an untuk melarang wanita adzan. Hadits dari Uqaili itu, selain dloif sebagaimana tersebut keterangannya dalam kitab Jami’u Ash-Shaghir, tidak juga menunjukkan terlarang wanita beradzan. Kalau juga hadits itu dianggap shah, maka maksudnya tidak lain melainkan melarang wanita bersuara keras. Dengan larangan bersuara keras ini, tidak berarti terlarang untuk wanita beradzan sebagai mengerjakan satu perintah agama.
Oleh sebab itu, tetaplah wanita boleh beradzan. Pendapat ini dikuatkan dengan satu riwayat yang bunyinya;
Artinya; “Dari ‘Aisyah, bahwa ia pernah ber-Adzan dan ber-Iqamah dan mengimami wanita-wanita dan berdiri ditengah-tengah mereka.”(H.R Hakim)
Berkata Imam syafi’ie; “Tidak ada bagi wanita-wanita (perintah) adzan jika mereka shalat berjama’ah, tetapi kalau mereka adzan dan iqamah, tidaklah mengapa”
Di zaman Nabi, Sahabat, Tabi’in dan imam Mazahib, tidak terdapat riwayat wanita beradzan untuk umum. Riwayat-riwayat yang mengatakan wanita berazan dan beriqamah atau jadi imam, nampaknya di antara wanita-wanita atau didalam rumah sendiri. Nanti, kalau sudah tidak ada laki-laki yang bisa beradzan, bolehlah kita fikirkan urusan bilal wanita. (Al-Muhalla 3:129-140, Al-Mughni 1:390-433, Al-Umm 1:61-73, Al-Mudauwanah 1:36, Nail 2:27, Al-Mustadrak 1:204, Al-Jami’ 1:97, Bughyatul-Mustarsyidin 37.
2.    Analisis Teks
Dalam kajian hukum wanita adzan diatas, sudah jelas kalau pendekatan yang dilakukan A. Hassan bukanlah menggunakan metodologi para imam Mazahib maupun metodologi Ijtihad, melainkan beliau menggunakan analisis perbandingan dalil, dimana dalil yang satu dengan dalil yang lain disandingkan lalu dianalisis sehingga membuahkan sebuah hukum boleh dan tidaknya.
Selain metodologi perbandingan dalil, A. Hassan juga menggunakan kajian tekstualis yaitu boleh wanita jadi bilal kalau para laki-laki tidak bisa ber-adzan.
Dari dua metode ini, sungguh sangat jelas bahwa dalam urusan adzan tidak dikhususkan kepada laki-laki saja, karena tidak adanya penegasan bahwa yang diharuskan jadi muadzin adalah laki-laki, sebagaimana syarat-sayarat muadzin yaitu;
a) Islam dan Berakal
Para ulama menyebutkan bahwa di antara syarat sahnya adzan adalah Islam dan berakal. Sehingga tidak sah adzannya orang kafir atau orang gila. Dalil yang menunjukkan tentang masalah ini adalah
“Dan kalaulah mereka berbuat syirik niscaya gugurlah amalan mereka semuanya.” (Al An’am: 88)
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Terangkat pena (pencatat amal) dari tiga jenis manusia. Anak kecil sampai baligh, orang yang tertidur hingga dia bangun dan orang gila sampai dia sadar.” (HR. Ahmad dan Ash-habus Sunan)
b) Baik Agamanya.
Hendaklah muadzin bersifat adil. Adapun jika muadzin adalah orang yang menampakkan kemunafikan maka para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang rajih adalah yang menyatakan sahnya. Namun jika ada orang yang adil maka tentunya orang tersebut yang diutamakan.
“Wahai orang-orang yang beriman jika datang kepada kalian orang fasiq membawa berita maka hendaklah dia memeriksa dengan teliti.” (Al Hujurat: 6)
c) Baligh
Syarat yang ketiga, hendaknya muadzin telah baligh. Namun bila keadaan terpaksa, adzan anak kecil yang belum baligh tetap dinilai sah. Pernah terjadi di zaman Nabi, seorang shahabat bernama Amr bin Abu Salamah Al Jurmy menjadi imam pada suatu kaum sementara umurnya baru 6 tahun. Bila anak kecil sah menjadi imam maka sudah selayaknya sah pula untuk jadi muadzin. Begitupun Anas bin Malik tidak mengingkari adzannya anak kecil.
d) Amanah
Hendaknya muadzin adalah seorang yang amanah/bisa dipercaya, sebab adzan berkaitan dengan waktu sholat. Adzannya orang yang tidak amanah sulit dipercaya, apakah tepat waktunya atau tidak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Imam adalah penanggung jawab sedangkan muadzin adalah orang yang bisa dipercaya…” (HR. Ahmad (6872), dll dari Abu Hurairah)
e) Bersuara lantang dan bagus.
Hendaknya suara muadzin itu bersuara lantang dan bagus. Demikianlah yang dituntunkan oleh Nabi. Sebagaimana perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Abdullah bin Zaid:
“Lakukanlah bersama Bilal, ajarkan kepadanya apa yang kamu lihat dalam mimpimu. Dan hendaklah dia beradzan karena dia lebih tinggi dan bagus suaranya dari kamu.” (HR. Tirmidzi (174) dan Ibnu Majah (698) dari Abdullah bin Zaid)
Dan juga sabda beliau:
“Jika kalian adzan, angkatlah suara kalian karena tidaklah ada makhluk Allah yang mendengar adzan kalian, baik jin, manusia, atau apa saja kecuali masing-masing mereka akan menjadi saksi pada hari kiamat.” (HR. Bukhari (574) dari Abu Said Al Khudri)
jadi wanita pun juga tidak apa-apa untuk menjadi muadzin, selama kondisi saat itu memang mengharuskan wanita beradzan, yaitu seperti kondisi :
1) Disaat dalam rumah
2) Disaat tidak ada laki-laki yang dijadikannya imam, muadzin dan iqamah, hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh siti ‘aisyah r.a dalam hadits yang sudah disebutkan diatas.
3) Dalam keadaan darurat, dimana pada saat itu laki-laki sudah tidak bisa untuk adzan, maka wanitalah yang menggantikan bilalnya.
Dari ketiga syarat diatas merupakan garis kebolehan seorang wanita untuk adzan, terlepas dari itu maka hukum asal yang boleh akan berubah menjadi makruh karena tidak memenuhi syarat diatas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar