Social Icons

Pages

Senin, 30 Januari 2012

Musuh Dijadikan Penolong, Boleh apa Tidak??


Boleh nggk ya??
Mungkin masalah ini sebagian agan-agan masih bingung menjawabnya, dan bisa aja ada yang belum tau bagaimana harus menjawabnya hehe... Nah, dari pada bingung mau bagaimana, mending langsung aja baca tulisan di bawah ini.

·         Mengambil musuh sebagai penolong boleh apa tidak?
Tidak ada salahnya kaum muslimin baik sebagai pemerintah maupun sebagai rakyat biasa minta bantuan kepada golongan ghairul Islam dalam bidang pengetahuan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan persoalan agama (tidak merugikan agama), misalnya ilmu kedokteran, perindustrian, pertanian dan lain-lain. Sekalipun sebaiknya ummat Islam dapat berdiri sendiri dalam hal-hal tersebut.
Dalam sirah nabawiyah bagaimana beliau bisa menggaji Abdullah bin Uraiqith padahal dia seorang musyrik untuk menjadi pemandu dalam hijrahnya. Justru itu para ulama berpendapat: karena kufurnya seseorang tidak berarti sama sekali tidak boleh dipercaya dalam setiap hal. Sebab sedikitpun tidak ada bahayanya orang kafir menunjukkan jalan. Apalagi seperti jalan hijrah ke Madinah.[1][1]
Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy dalam Sirah Nabawiyah menerangkan bahwa Rasulullah SAW telah memperlakukan tawanan perang Badar dengan baik dan sangat manusiawi. Bahkan beberapa tawanan perang dibebaskan dengan sangat mendidik, yaitu dengan mewajibkan mereka mengajari 10 orang muslim baca tulis. Dalam kisah perang hunain dikatakan bahwa Rosulullah SAW melarang pasukan muslim untuk membunuh wanita dan anak-anak yang jatuh tertawan ketangan mereka.[2][2]
Kebanyakan para ulama membenarkan kepala negara Islam minta bantuan kepada ghairul muslimin khususnya ahli kitab dalam bidang kemiliteran, dan mereka pun harus diberi ghanimah seperti tentara Islam juga.
Az-Zuhri meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW pernah minta bantuan kepada orang-orang Yahudi dalam bidang militer dan memberinya ghanimah. Dan Shafwan bin Umaiyah pernah berperang bersama Nabi dalam peperangan Hunain, dan tetapi ia menjadi tentara sekutu Nabi. (Riwayat Said dalam sunannya).
Namun disyaratkan, orang yang diminta bantuan itu haruslah orang yang beri'tikad baik terhadap kaum muslimin. Kalau tidak, sudah barang tentu tidak boleh minta bantuannya. Sebab kalau kita sudah tidak boleh minta bantuan kepada orang Islam yang tidak dapat dipercaya, misalnya orang yang meninggalkan perang dan suka menyiarkan berita-berita bohong, apalagi minta bantuan kepada orang kafir yang bersifat demikian?! (al-Mughni 8:41).
Orang Islam dibenarkan juga memberi hadiah kepada ghairul Islam dan begitu juga menerima hadiah dari mereka. Sebab Rasulullah s.a.w. sendiri pernah menerima hadiah dari raja kafir. Bahkan ahli-ahli hadis mengatakan: hadis-hadis yang menerangkan Nabi pernah menerima hadiah dari orang kafir itu sangat banyak. Di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda kepadanya:
"Sungguh saya pernah memberi hadiah kepada raja Najasyi sebuah baju dan beberapa uqiyah dari sutera" (Riwayat Ahmad dan Thabarani)
Islam selalu menghargai manusia dari segi kemanusiaannya, bagaimana pula kalau dia itu ahli kitab atau kafir dzimmi?
Pernah ada suatu jenazah diusung di hadapan Nabi, kemudian Nabi berdiri. Salah seorang sahabat ada yang bertanya: Ya Rasulullah! Itu adalah jenazah Yahudi! Jawab Nabi: Bukankah dia manusia juga?! Benar! Karena setiap manusia dalam Islam mendapat tempat dan penghormatan.
A.          A. Dalam Bidang Bisnis Atau Pekerjaan
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya”(QS. Al-Imran ayat 118)
Asbabun Nuzul
Pada ayat ini Allah memperingatkan orang-orang mukmin agar jangan bergaul rapat dengan orang-orang kafir yang telah nyata sifat-sifatnya yang buruk itu, jangan mempercayai mereka dan jangan menyerahkan urusan-urusan kaum muslimin kepada mereka. Menurut Ibnu Abbas ayat ini diturunkan berhubungan dengan tindakan sebagian kaum muslimin yang berhubungan rapat dengan orang-orang Yahudi Madinah karena bertetangga dan adanya perjanjian damai antara mereka.[3][1]
Walau bagaimanapun sebab turun ayat ini dapat dipahami dari padanya bahwa Allah melarang mengambil orang-orang kafir yang telah nyata kejahatan niatnya terhadap orang mukmin sebagai teman akrab mereka itu adalah orang-orang musyrik, Yahudi, munafik dan lain-lain. Maka janganlah orang mukmin bergaul rapat dengan orang-orang kafir yang mempunyai sifat yang dinyatakan dalam ayat ini yaitu[4][2]:
a.       Senantiasa menyakiti dan merugikan kaum muslimin dan berusaha menghancurkan mereka.
b.      Menyatakan terang-terangan dengan lisan rasa amarah dan benci terhadap kaum muslimin. mendustakan Nabi Muhammad SAW dan Al-Qur’an dan menuduh orang-orang Islam sebagai orang-orang yang bodoh dan fanatik.
c.       Kebencian dan kemarahan yang mereka ucapkan dengan lisan itu adalah amat sedikit sekali bila dibandingkan dengan kebencian dan kemarahan yang disembunyikan dalam hati mereka. Tetapi bila sifat-sifat itu telah berubah menjadi sifat-sifat yang baik atau mereka tidak lagi mempunyai sifat-sifat yang buruk itu terhadap kaum muslimin maka Allah tidak melarang untuk bergaul dengan mereka.
Firman Allah SWT
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (Al-Mumtahanah ayat 8-9)
Banyak ditemui dalam sejarah orang-orang kafir yang membantu kaum muslimin dalam perjuangan Islam seperti dalam penaklukan Spanyol dan penaklukan Mesir. Mereka mengusir orung-orang Romawi dengan bantuan orang Qibti. Banyak pula diantara orang-orang kafir yang diangkat sebagai pegawai pada kantor-kantor Pemerintah di masa Umar bin Khattab dan pada masa kerajaan Umawiyah dan `Abbasiah, bahkan ada di antara mereka yang diangkat menjadi duta mewakili pemerintah Islam.[5][1]
Demikianlah Allah telah menjelaskan ayat-ayatNya kepada kaum muslimin supaya diperhatikan dengan sebaik-baiknya agar jangan terperosok ke dalam jurang kebinasaan karena kurang hati-hati dan tidak waspada dalam berteman akrab dengan orang-orang kafir itu.[6][2]
Imam Baghawi dalam tafsirnya menjelaskan, “Janganlah engkau menjadikan orang-orang non muslim sebagai wali, orang kepercayaan atau orang-orang pilihan, karena mereka tidak segan-segan melakukan apa-apa yang membahayakanmu”.
Syaikh Ibnu Taimiyah mengatakan, “Para peneliti mengetahui bahwa orang-orang ahli dzimmah dari Yahudi dan Nahsrani mengirim berita kepada saudara-saudara seagamanya tentang rahasia-rahasia orang Islam. Di antara bait-bait yang terkenal adalah. “Setiap permusuhan dapat diharapkan kasih sayangnya kecuali permusuhan orang yang memusuhi karena agama”[7][3]
Karena itulah mereka dilarang memegang jabatan yang membawahi orang-orang Islam dalam bidang pekerjaan, bahkan mempekerjakan orang Islam yang kemampuannya masih di bawah orang kafir itu lebih baik dan lebih bermanfaat bagi umat Islam dalam agama dan dunia mereka. Sedikit tapi dari yang halal diberkati Allah, sedangkan banyak tapi dari yang haram dimurkai Allah.
Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan[8][4].
  1. Tidak boleh mengangkat orang kafir untuk kedudukan yang membawahi orang-orang Islam, yaitu yang memungkinkan dia mengetahui rahasia-rahasia umat Islam, karena Allah berfirman :
Janganlah kamu ambil teman kepercayaanmu orang-orang yang diluar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. (Ali Imran ayat 118)
  1. Diperbolehkan mengupah orang-orang kafir untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan sampingan yang tidak menimbulkan suatu bahaya dalam politik Negara Islam, umpamanya menjadi guide (petunjuk jalan), pemborong konstruksi bangunan, proyek perbaikan jalan dan sejenisnya dengan syarat tidak ada orang Islam yang mampu untuk itu. Karena baginga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu pernah mengupah seorang laki-laki musyrik dari Bani Ad-Diil sebagai penunjuk jalan ketika hijrah ke Madinah. (Hadits Riwayat Al-Bukhari)
A.    Dalam Urusan Perang
Dalam masalah ini terdapat perbedaan diantara para ulama, seperti Mazhab Maliki dan Jumhur (Syafi’iyah, Hanabilah dan Ahnaf).
Dalam hal ini mazhab Maliki berpendapat bahwa meminta bantuan orang kafir dalam peperangan itu tidak boleh, dengan mengambil zhahir surat Al-Imran ayat 28-29. Mereka juga beristidlal dengan hadits ‘Aisyah : ‘Bahwa ada seorang pria dari kaum musyrikin yang cukup berani, datang kepada Nabi SAW, lalu Nabi bersabda : kembalilah, aku tidak akan meminta bantuan orang-orang musyrik’.[9][5]
Sedangkan Jumhur berpendapat: bahwa meminta bantuan orang kafir dalam peperangan itu dibolehkan dengan dua syarat[10][6]:
1.      Karena memang sangat diperlukan, dan
2.      Harus dapat dipercaya.
Mereka beristidlal dengan fi’liyah Nabi Muhammad SAW yang pernah meminta bantuan kepada orang Yahudi Qainuqa’ dan memberi bagian ghanimah kepada mereka. Nabi Muhammad SAW juga pernah meminta bantuan kepada Shafwan bin Umayah dalam peperangan Hawazin. Itu semua menunjukkan bahwa bolehnya kita meminta bantuan kepada orang kafir dalam peperangan.
Adapun dalil-dalil yang dipakai oleh Malikiyah, ditolak karena dalil-dalil tersebut telah dimansukh (hapus) dengan fi’liyah dan amaliyah Nabi SAW tersebut. Selain itu juga, apa yang dituturkan oleh Malikiyah itu diartikan karena pada waktu itu tidak diperlukan atau karena tidak ada kepercayaan dari Nabi Muhammad SAW.
Ibnu Qoyyim berkata tentang manfaat perjanjian Hudaibiyah : ”diantaranya, bahwa meminta bantuan kepada orang musyrik yang dapat dipercaya dalam berijtihad adalah diperbolehkan ketika benar-benar diperlukan, dan pada orang (musyrik) itu juga terdapat maslahah yaitu dia dekat dan mudah untuk bercampur dengan musuh dan dapat mengambil kabar dan rahasia mereka”[11][7] 
         Juga diperbolehkan ketika dalam keadaan darurat, Imam Zuhry meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah meminta bantuan kepada orang-orang Yahudi dalam perang khaibar (7 H), dan Sofwan bin Umaiyah ikut serta dalam perang Humain padahal ia pada saat itu musyrik. Termasuk daruruat, misalnya jumlah orang-orang kafir jauh lebih banyak dan sangat ditakutkan, dengan syarat dia berpandangan baik terhadap kaum muslimin. Adapun jika tidak diperlukan maka tidak diperbolehkan meminta bantuan kepada mereka, karena orang kafir itu sangatlah dimungkinkan berkhianat dan bisa jadi menjadi senjata makan tuan, oleh karena buruknya hati mereka. Tapi yang tampak dari ucapan Syaikh Ibnu Taimiyah adalah boleh meminta pertolongan kepada mereka secara mutlak.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Karim Terjemah
Al-Buthy, Muhammad Sa’id Ramadhan, Sirah Nabawiyah, Daarul Fikr, Libanon 1977.
Al Fauzan, Shalih bin fauzan bin Abdullah. “Kitab Tauhid 1 Wala' dan Bara'dalam Islam. Yayasan Al-Sofwa. Jakarta: 2000
Hamidy, Mu’ammal & Imron A Manan, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1985 Cetakan Pertama
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Kumpulan Fatwa Ibnu Taimiyah Tentang: Amar Ma’ruf Nahi Mungkar & Kekuasaan, Siyasah Syar’iyah, Jihad Fi Sabilillah, Jakarta; Darul Haq, 2005
http://tafsiralquraan.wordpress.com/category/qs-3118-surah-ali-imran-118/ (diakses pada hari rabu 19 Oktober 2011 Jam 09.00WIB)
http://users6.nofeehost.com/alquranonline/Alquran_Tafsir.asp?pageno=6&SuratKe=3 (diakses pada hari rabu 17 Oktober 2011 Jam 20.00WIB)
http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Halal/4053.html  (diakses pada hari rabu 17 Oktober 2011 Jam 20.00WIB)

 


[2][2] http://users6.nofeehost.com/alquranonline/Alquran_Tafsir.asp?pageno=6&SuratKe=3 (diakses pada hari rabu 17 Oktober 2011 Jam 20.00WIB)
[3][1] http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Halal/4053.html  (diakses pada hari rabu 17 Oktober 2011 Jam 20.00WIB)
[4][2] Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, Sirah Nabawiyah, Daarul Fikr, Libanon 1977. hlm 232


[7][3] Dr. Shalih bin fauzan bin Abdullah Al Fauzan. “Kitab Tauhid 1 Wala' dan Bara'dalam Islam. Yayasan Al-Sofwa. Jakarta: 2000. Hal  21
[8][4] Ibid hal 21-22
[9][5] Mu’ammal Hamidy & Imron A Manan, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1985 cetakan pertama .hal 337
[10][6] Ibid, hal 337
[11][7] Dr. Shalih bin fauzan bin Abdullah Al Fauzan Op,.cit  hal 24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar