Social Icons

Pages

Senin, 30 Januari 2012

(AL-ADILLAH AS-SYAR’IYAH) Ijma'

Karena bingung mau posting apa di blog, jadinya ane posting makalah yang dulu ane buat ketika semester 4, n Insyallah ane yakin klo makalah ini banyak manfaatnya, namanya juga ilmu, ya gak?? hehe..

okeh...untuk postingan kali ini udah dapat diterka kan gimana alur n inti dari ne postingan??...yup, betul!! postingan kali ini berkenaan dengan khazanah keislaman yang judulnya sudah jelas terpampang di atas, langsung ja ke pembahasannya. yukk...mari dibaca dengan teliti dan di pelajari (^_^)

1. PENGERTIAN IJMA’
Secara etimologi, ijma’ berarti kesepakatan atau konsensus, pengertian ini dijumpai dalam Surat Yusuf 12:15, yaitu:
 
 “Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya kedalam sumur”

Pengertian etimologi dari ijma’ adalah ketetapan hari untuk melakukan sesuatu. Pengertian kedua ini ditemukan dalam Surat Yunus, 10:71:

“Maka bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu…”

Perbedaan antara pengertian pertama dengan pengertian kedua terletak pada kuantitas (jumlah) orang yang berketetapan hati. Pengertian pertama mengucapkan satu tekad saja, sedangkan untuk pengertian kedua memerlukan tekad kelompok.

Secara terminologi, ada beberapa rumusan ijma’ yang dikemukakan para Ulama Ushul Fiqh. Ibrahim ibn Siyar al-Nazzam seorang tokoh Mu’tazilah merumuskan ijma’ dengan setiap pendapat yang didukung oleh hujjah, sekalipun pendapat itu muncul dari seseorang. Akan tetapi, rumusan al-Nazzam ini tidak sejalan dengan pengertian etimologi di atas.
Sedangkan menurut Ulama Ushuliyyin ialah kesepakatan semua mujtahidin diantara umat Islam pada suatu masa setelah kewafatan Rusulullah SAW. atas hukum syari’ mengenai suatu kejadian. 



2. KOMPOSISI IJMA’
Dari definisi ijma’ di atas dapat diketahui bahwa ijma’ itu bisa terjadi bila memenuhi kriteria-kriteria dibawah ini:
a.      Yang Bersepakat adalah Para Mujtahid
Yang dimaksud dengan pengertian mujtahid secara umum adalah seorang ulama yang mempunyai kemampuan dalam meng-istimbathkan hukum dari dalil-dalil syara’. Dalam kitab Jama’ al-Jawami’ disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang-orang yang faqih.
Selain pengertian diatas, ada juga yang memandang mujtahid sebagai ahlu al-hali wal aqdi, dari istilah inilah sesuai dengan pendapat al-Wadih dalam kitab Istbat bahwa mujtahid yang diterima fatwanya adalah ahlu Al-hali wal aqdi.
2. KOMPOSISI IJMA’
Dari definisi ijma’ di atas dapat diketahui bahwa ijma’ itu bisa terjadi bila memenuhi kriteria-kriteria dibawah ini:
a.      Yang Bersepakat adalah Para Mujtahid
Yang dimaksud dengan pengertian mujtahid secara umum adalah seorang ulama yang mempunyai kemampuan dalam meng-istimbathkan hukum dari dalil-dalil syara’. Dalam kitab Jama’ al-Jawami’ disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang-orang yang faqih.
Selain pengertian diatas, ada juga yang memandang mujtahid sebagai ahlu al-hali wal aqdi, dari istilah inilah sesuai dengan pendapat al-Wadih dalam kitab Istbat bahwa mujtahid yang diterima fatwanya adalah ahlu Al-hali wal aqdi.
 Beberapa pendapat tersebut sebenarnya mempunyai kesamaan, bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang Islam yang baligh, berakal mempunyai sifat terpuji dan mampu mengistimbathkan hukum dari sumbernya.
Dengan demikian, kesepakatan orang awam (bodoh) atau yang belum mencapai derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma’, begitu pula penolakan mereka. Karena mereka tidak ahli dalam menelaah hukum-hukum syara’.

Maka, apabila disuatu masa tidak ada seorangpun yang mencapai derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma’ meskipun ada tetapi hanya satu orang, itupun tidak bisa dikatakan ijma’ karena tidak mungkin seorang bersepakat dengan dirinya sendiri. Dengan demikian, suatu kesepakatan bisa dikatakan ijma, bila dilakukan tiga orang atau lebih. Adapun kesepakatan yang dilakukan dua orang, para ulama berbeda pendapat. Ada yang menyatakan hal itu tidak bisa dikatakan ijma’ akan tetapi Jumhur Ulama hal itu termasuk ijma’, karena mewakili kesepakatan mujtahid pada masa itu.
  1. Yang Bersepakat Adalah Seluruh Mujtahid
Bila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak meskipun sedikit, maka menurut Jumhur, hal itu tidak bisa dikatakan ijma’, karena itu harus mencakup keseluruhan Mujtahid.
Sebagian ulama berpandangan bahwa ijma’ itu sah bila dilakukan oleh sebagian besar mujtahid, karena yang dimaksud dengan kesepakatan ijma’ termasuk pula kesepakatan sebagian besar dari mereka, begitu pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu telah mencakup hukum keseluruhan.
Sebagian ulama yang lain berpandangan bahwa kesepakatan sebagian besar mujtahid itu adalah hujjah, meskipun tidak dikatagorikan ijma’, karena kesepakatan sebagian besar mereka menunjukkan dalil sahih yang mereka jadikan landasan penetapan hukum, dan jarang terjadi, kelompok kecil yang tidak sepakat, dapat mengalahkan kelompok besar.
  1. Para Mujtahid Harus Umat Muhammad
Para ulama berbeda pendapat tentang arti umat Muhammad SAW. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud umat Muhammad SAW. adalah orang -orang mukallaf dari golongan ahlu al-Hali wa Al-aqdi ada yang berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang mukallaf dari golongan Muhammad, namun yang jelas adalah muslim, berakal dan telah baligh.
Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad SAW. tidak bisa dikatakan ijma’. Hal itu menunjukkan adanya umat para nabi lain yang berijma’. Adapun ijma’ umat Nabi Muhammad SAW. tersebut telah terjamin bahwa mereka tidak mungkin berijma’ untuk melakukan kesalahan.
  1. Dilakukan Setelah Wafatnya Nabi
Ijma’ tidak bisa terjadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik, dan itu dianggap sebagai syariat’.
  1. Kesepakatan Mereka Harus Berhubungan dengan Syari’at
Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syari’at, seperti tentang wajib, sunnah, makruh, haram, dan lain-lain. Hal itu sesuai dengan pendapat Imam Al-Ghazali yang menyatakan bahwa kesepakatan tersebut dikhususkan pada masalah-masalah agama, juga sesuai dengan pendapat Al-Juwaini dalam kitab Al-Warakat, Safiudin dalam Qawaidul Ushul, Kamal bin Hamal dalam kitab Tahrir, dan lain-lain.

Adapun mengenai masa atau zaman, para ulama ada yang memasukkannya sebagai syarat ijma’, sedang al-Athar dalam kitab Hasiyah-Jum’ul Jawami’ mengartikan zaman dalam definisi ijma’ diatas dengan zaman mana saja.

3. DASAR HUKUM ATAU KEHUJJAHAN IJMA’
Jumhur ulama berpendapat, bahwa ijma’ dapat dijadikan argumentasi (hujjah) berdasarkan dua dalil berikut:
Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’an memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya. Dia juga memerintahkan untuk taat kepada Ulil Amri seperti dalam firmannya:


“Hai Orang-orang yang beriman, taatlah Allah Swt, dan taatlah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa:59)


Lafal amri artinya hal atau perkara, ia bersifat umum meliputi masalah agama dan dunia. Ulil amri pada masalah dunia adalah raja, para pemimpin dan penguasa, sedangkan pada masalah agama adalah para mujtahid, dan ahli fatwa. Sebagian ahli tafsir, terutama Ibnu Abbas, menafsiri kata Ulil Amri itu dengan ulama, sedangkan ahli tafsir yang lain menafsirinya dengan pemimpin dan penguasa. Yang jelas penafsiran itu mencakup keseluruhan, dan semuanya harus ditaati dalam ruang lingkup masing-masing, bila Ulil Amri sepakat dalam memutuskan syara’, yakni para mujtahid maka wajib diikuti dan dilaksanakan berdasarkan nash al-Quran. Sebagaimana firman Allah:
 
 “Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri).”  (QS an- Nisa: 83)
Hadis-hadis yang menyatakan bahwa umat muhammad tidak akan bersepakat terhadap kesesatan. Adapun bunyi hadis tersebut adalah:

“Tidak mungkin Allah mengumpulkan umatku melakukan kesesatan”. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Adapun yang menurut pandangan kaum muslimin baik, maka menurut Allah juga baik. Oleh karena itu amal perbuatan sahabat yang telah disepakati dapat dijadikan argumentasi (hujjah). Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa sahabat Ali RA berkata: “Pendapat saya telah bersepakat dengan pendapat sahabat umar, tentang tidak diperbolehkannya menjual ummahatul aulad, akan tetapi sekarang saya berpendapat, bahwa mereka boleh untuk diperjual belikan. Kemudian ada seorang berkata kepadanya: “Bukanlah kesepakatan anda dengan pendapat Umar lebih baik daripada pendapat anda secara pribadi ?”. Ummahatul aulad ialah hamba perempuan yang mempunyai anak dengan tuannya jika tuannya mati maka secara otomatis ia menjadi merdeka.
Macam-macam ijma’:
1.      Ijma’ sharih, yaitu para mujtahid pada masa itu sepakat atas hukum terhadap suatu kejadian dengan menyampaikan pendapat masing-masing yang diperkuat dengan fatwa atau keputusan, yakni masing-masing mujtahid mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yang mencerminkan pendapatnya.
2.      Ijma’ sukuti, yaitu sebagian mujtahid pada suatu masa mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum dan sebagian yang lain diam, artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tidak terhadap pendapat yang telah dikemukakan

4. CONTOH APLIKATIF
            Jika para fuqaha yang hidup pada satu masa (generasi) berbeda dalam berbagai pendapat, akan tetapi bersepakat dalam hukum yang pokok, maka seseorang tidak boleh mengemukakan pendapat yang bertentangan dengan pendapat-pendapat mereka. Misalnya para fuqaha generasi sahabat berbeda pendapat tentang bagian harta pusaka seorang kakek yang masih hidup bersama dengan saudara-saudara lain. Sebagian sahabat berpendapat, bila kakek itu bersama saudara-saudar mayyit, maka saudara mayit tersebut memperoleh harta pusaka, dengan syarat kakek memperoleh harta pusaka tidak kurang dari 1/3, sedang sahabat lain berpendapat, saudara-saudara si mayit memperoleh harta waris dengan syarat kakek memperoleh tidak kurang dari 1/6 harta pusaka. Sementara itu yang lain berpendapat, bahwa saudara-saudara mayit tidak memperoleh pembagian harta pusaka sama sekali.
            Dengan demikian, meskipun para fuqaha generasi sahabat berselisih mengenai jumlah bagian harta pusaka bagi seorang kakek, akan tetapi mereka telah bersepakat, bahwa seorang kakek berhak memperoleh harta pusaka mayit, baik ia sendirian maupun ia bersama-sama dengan saudara-saudara mayit. Oleh karena itu, tidak ada seorang ulama yang berpendapat bahwa kakek tidak memperoleh pembagian harta pusaka, karena pendapat tersebut bertentangan dengan ijma’.




DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Al-Zarqa Musthafa, Hukum Islam dan Perubahan Sosial, (Riora Cipta : Jakarta, 2000)
Abu Zahrah Muhammad, Ushul Fiqh (Pacitan Barat: Pustaka Firdaus. 1999)
Haroen Hasrun, Ushul Fiqh, ( Logos Publishing House: Jakarta, 1996)
Khallaf Abdul Wahhab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (PT Raja Grafindo: Jakarta, 2002)
Syafe’i Rachmat, Ilmu Usul Fiqh. (CV Pustaka Setia: Bandung, 2007)










Tidak ada komentar:

Posting Komentar