Social Icons

Pages

Jumat, 17 Februari 2012

Menggenggam Keinginan

Lama aku berkeinginan rekreasi ke atas gunung alias mendaki. Cuma kadang keinginan tersebut selalu terkendala oleh personal yang ingin kuajak. Tapi, akhirnya aku dapat merealisasikan keinginanku di saat masa kuliahku sudah di ambang kelulusan (Amien..!! meski masih ada setahun lagi, pokonya di aminin hehe).

--Before
Sebelum tercapainya keinginan, aku dan teman-teman sudah merencanakan jauh-jauh hari. Awal mula keinginan ini tak kan terbentuk, jika seandainya aku tidak bertemu kawan-kawan dari Universitas Indonesia yang selalu menceritakan pengalaman indah mereka mendaki gunung Rinjani di Lombok. Dari sinilah perwujudan keinginanku semakin tampak dan mendekati kejelasan, walau terkadang masih terkesan semu. Pertemuan dengan kawan-kawan mahasiswa UI berujung pada satu perjanjian untuk menjejakkan kaki di puncak Mahameru, tanah tertinggi Jawa.
Rencana besar sudah terbentuk dan terkonsep dalam hati kita masing-masing, akhirnya petualangan pun di mulai sejak itu, petualangan untuk mendaki gunung. Untuk mempersiapkan fisik dan mental mendaki mahameru, tentunya aku yang belum pernah mendaki gunung harus uji coba terlebih dahulu mendaki gunung yang tidak seberapa tingginya. Dengan rapat mendadak non formal, tempat yang kan –khususnya aku—mulai adalah gunung Van Der Man yang terletak di kota Batu Malang, dengan ketinggian kurang lebih 2000 meter.
Semua sepakat, dan waktu telah di tentukan, yakni ketika Hari Raya Iedul Adha.

--Hari H
Dengan perbekalan seadanya, dan kekuatan fisik yang juga seadanya kita bersiap mendaki gunung Panderman (orang Malang bilang) pada H -1 Lebaran Iedul Adha. Semua berkumpul di markas, bersiap meluncur setelah dzuhur. Sambil menunggu siang, aku bersantai sejenak di markas sebelum fight siang nanti.
Di tengah kesantaian kita bertiga, tiba-tiba ada info bahwa pemandu yang sudah janjian mau mengantar kita masih belum meberikan kepastian. Dan setelah di hubungi via phone, hpnya gak aktif. Sial..batinku. tapi aku tak mau nyerah dengan hal seperti ini, dan teman-teman seperjalananku juga berpikir demikian. Akhirnya, dari pada membatalkan sesuatu yang sudah di depan mata, lebih baik tetap pada pendirian semula meski merubah rencana. Maka,  kami mempunyai alternative lain, yaitu menghubungi anak UKM Mapala Tursina (Kebok.red) sebagai pemandu kita menuju gunung Panderman. Untung saja anak tersebut memang berniat untuk jalan-jalan juga, jadi sudah pas dan melegakan kita yang sempat down gara-gara ketidakjelasan pemandu pertama.
Saat itu, jam sudah menunjukkan pukul 14.00 WIB. Tapi kami tidak bisa berangkat saat itu, karena hujan deras mendadak turun. Terpaksa kita menunggu sampai hujan reda, entah berapa lama hujan itu berlangsung, yang pasti saat hujan reda, tu sudah mau magrib. Setelah semua dirasa sudah siap, dan hujan sudah menyisakan rintik, kita menuju kontrakan si anak Mapala tersebut.  Dari sinilah petualangan di mulai.
Rencana semula berubah total, gunung panderman tersisihkan oleh pegunungan kawi –atau lebih di kenal Putri Tidur—yang ketinggiannya melebihi panderman. Tanpa pikir panjang, kita bertiga langsung menyetujui usulan si anak Mapala tersebut. “yang penting berangkat, dan esok harus membawa kenangan indah yang harus diceritakan sama teman-teman organisasi” pikirku (bukan berniat pamer/sombong). Sambil menunggu maghrib, kami bersantai ria sambil nongkrong di depan kontrakan anak Mapala.
Selang beberapa menit, adzan berkumandang. Kami satu persatu shalat bergiliran di kamarnya. Maap ni ya, bukannya kita tidak mau shalat berjamaah saat itu. Tapi karena kondisi kamar yang sempit dan acak-acakan yang menyebabkan kita tidak bisa shalat magrib berjamaah saat itu. Setelah selesai shalat semua, kita berangkat menuju pegunungan kawi dengan perasaan dan ucapan “Bismillah

--Kaki Gunung Pegunungan Kawi
Malam mulai gelap, jalanan licin bekas hujan menambah tantangan tersendiri ketika langkah pertama terayun menapak tanah yang masih basah tersebut. Alat penerang seperti senter dan Had Light mulai dinyalakan, berhubung medan yang ada di depan mata kita sangatlah gelap dan perlahan menanjak. Tiada suara, semua terdiam konsentrasi pada langkah kaki. Perjalanan sudah berlangsung sekitar satu jam, keringat mulai bercucuran membanjiri tubuh kami semua. Hawa dingin pegunungan seolah tidak terasa bagi kami. Jacket yang semula kita pakai, satu persatu sudah dilepas. Gelap, licin dan terjal terasa oleh tubuhku. Lebatnya pepohonan di depan mata kami menunjukkan pada kami kalau kita sudah memasuki hutan gunung Pegunungan Kawi.
Semakin malam, semakin tipis oksigen dan semakin lemah langkah kami. Sumpah, aku merasa keangkuhan manusia tak ada tandingannya dengan keangkuhan gunung yang berdiri kokoh di depan mataku yang selalu menantang. Aku lelah, capek, lapar dan ingin istirahat. Itulah yang selalu kupikirkan, berkali-kali aku bertanya pada si pemandu, “masih jauhkah ini ke pemberhentian yang dimaksud?”. jawab si pemandu "masih jauh, santai saja", penjelasan kata "jauh" bukan dijelaskan dengan jarak (layaknya orang tanya tempat), melainkan dijelaskan dengan waktu. Menurut si pemandu yang ada di depan kami, tempat pemberhentian kita yang pertama masih kurang tiga jam lagi. Aku gak habis pikir, dan semakin tidak percaya dengan pernyataan tersebut. Mana kondisi jalan yang semakin menanjak membuat napasku tersenggal-senggal tak karuan.
Saat itu baru benar terasa, capeknya mendaki sebuah gunung. Pikiranku sempat down melihat medan yang seolah sangat sulit untuk dilalui. Tapi namanya keinginan, dan tidak ada salahnya tuk mencoba, kuteruskan langkah kaki ini yang sudah mulai gemetar menahan lelah yang sudah terasa sejak tadi. Pikiranku mengawang, pandanganku tertunduk pada jalan yang kulalui.  Semua terasa semakin berat, ketika mencapai medan tanjakan yang disebut “Tanjakan Istighfar”.
Benar-benar tanjakan yang membunuh, sumpah!! Keinginanku untuk ke Semeru seolah hilang ketika merasakan tanjakan yang parah banget beratnya. Dalam pikiran aku mempertimbangkan “di pegunungan yang ketinggiannya di bawah Semeru saja sudah kayak gini, apalagi di Semeru?” entahlah. Semua gelap, meski berkali-kali mengeluh dengan tanjakan yang membunuh ini, tetap saja kaki tak mau berhenti menapak jalanan yang tidak karuan tersebut.
Hancur, benar-benar hancur. Hal seperti ini tidak terpikirkan sebelumnya, aku keteteran dengan medan ini. fisik sudah tidak dapat diandalkan lagi, untung saja motivasi menuju puncak masih terus mengebu-gebu di dalam hati. Inilah modal tenagaku menapaki Tanjakan Istighfar tersebut.




___

Di kaki gunung ini aku berdiri
Di kaki gunung ini aku melihat
Jalanan menanjak menuju puncak
Tanpa tersinari cahaya rembulan,
yang sedang malu berlindung di balik awan

Bebatuan besar dan kecil kami lalui bersama
sunyinya malam meredupkan semangat yang berapi-api
hawa dingin tak mampu menyurutkan kucuran keringat
lelah terasa menjalar ditiap sudut raga

Tanpa ampun
kami harus mendaki
jalanan terus meninggi
tak ada jeda buat kami
semua terdiam dalam tiap langkah
yang mulai melemah karena lelah

tapak demi tapak kami jejalkan
menuju pemberhentian yang diharapkan
jejak langkah yang tercetak di tanah
mengisyaratkan badan kami yang telah melemah

tanpa belas bagi kami para pendaki
jalanan yang mengerucut menyusutkan mental
menimbulkan putus asa yang bertubi-tubi

kaki mulai gemetar menahan rasa lelah
tebing-tebing curam hanya bisa tertawa
pepohonan yang mengitari menghamburkan asa
hanya keinginan yang memulihkan niat kami
menata menjadi satu kebahagiaan
kala puncak itu sudah kami taklukkan
(Malachi)

Sudah lima jam lebih kami mendaki, malam semakin larut memasuki waktu dini hari. Tenggorokan mulai kering tak tersirami seteguk air putih, hanya ludah yang kami telan buat membasahinya. Capek, --benar-benar capek, dalam hati selalu bertanya-tanya, kapan semua ini akan berakhir? Tak terasa sudah berapa lama kami berjalan, istirahat, berjalan dan berjalan terus, hingga ___sampailah kita ke safana yang bernama Padang Banteng (tapi sayang, safananya gosong karena kebakaran beberapa waktu lalu).

--Di Puncak
Jam 03.00 WIB dini hari, kami sampai di Padang Banteng. Inilah tempat peristirahatan yang kedua setelah Cemoro Kembar, aliran air jernih dan entah apa lagi yang bisa kuungkapkan. Rasanya seolah tak percaya aku berada di sini, menaklukkan berbagai macam medan yang parah dan sangat membunuh. Hari itu, kita sudah memasuki Hari Raya Iedul Adha, aku termenung, diam, menggil mengusir lelah menahan kesenangan. Beragam keperluan langsung kami kerjakan saat itu, mulai memasak nasi dan air, terus mendirikan tenda dan membuat api unggun kecil-kecilan sebagai antisipasi hewan liar dan juga sebagai penghangat manual.
Meski lelah, wajah kusut, dan tubuh menggigil tidak karuan. Tapi tetap saja mata tidak mau terlelap menyiakan keindahan hidup yang pertama aku alami tersebut. Tidak dapat disangka, keinginan sudah terbentuk menghapus keraguan yang sempat melandaku dan teman-teman seperjalananku. Alhamdulillah, ucap sukur terlontar dari lidahku. Betapa ini semua ibarat mimpi, tanpa kusadari aku saat ini berada di atas gunung yang ketinggiannya sudah mencapai 2200 an meter.
Pagi datang, cahaya mentari terasa menyinari safana ini, kembali lagi ucapan syukur dan takbir terucap lewat lidah. Pelan, tapi penuh penghayatan. Berbeda dari hari raya sebelumnya yang seolah tampak biasa-biasa saja tanpa memberi kesan menarik tersendiri. Jam menunjukkan 05.30 WIB, shalat Iedul Adha kulakukan walau tidak berjamaah,-----















Kulantunkan takbir…
Dalam suka cita yang membaharu
Di bawah langit-Mu aku bersimpuh
Memanjatkan asa yang terpendam

__
Jalan-jalan terjal kulalui
Menyisakan langkah-langkah rapuh
Dalam lelah pendakian
Nun jauh di sana…
Secercah sinar harapan mengobati dahaga kering tenggorokan
Basahnya peluh yang terurai
Terganti bahagia menghilangkan kesal
Para pendaki yang mencari kesenangan
(Malachi)

Kabut pagi datang, tebal berwarna putih menyisir safana yang terbentang. Suara gemuruh di langit mengirim rintik hujan yang mulai turun membasahi tanah lapang. Kami bergegas, menuju puncak, puncak yang di tuju untuk mengabadikan kenangan, yaitu puncak Cemoro Kandang. Dan di sanalah perjuangan berakhir, menjawab semua keinginan yang selama ini kuidamkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar