Social Icons

Pages

Rabu, 01 Februari 2012

Ushul Fiqh


Pembagian Lafadz Dari Segi Kejelasannya Perspektif Ulama Ushuliyyah
Suatu nash dapat dikatakan jelas apabila dapat dipahami langsung dari nash itu tanpa bergantung kepada qarinah (tanda) dari luar nash. Setiap Nash yang sudah jelas dilalahnya wajib dilaksanakan sesuai dengan dilalahnya tidak boleh ditakwilkan sekalipun nash itu dapat ditakwilkan terkecuali memang ada petunjuk yang menunjukkan takwilnya
Para ahli ushul membagi nash yang dilalahnya jelas menjadi empat macam yaitu; zahir, nash, mufassar dan muhkam.
Ø  ZAHIR
Zhahir menurut bahasa adalah jelas sedangkan menurut istilahnya lafaz yang jelas maksudnya tanpa memerlukan hal-hal lain akan tetapi maksud tersebut bukan tujuan utama tersusunnya lafazh itu, dilalah maknanya dapat dipahami dari susunan kalimatnya dan dapat pula dialihkan ke arti lain dan boleh dinasakh, namun hal itu dilakukan pada masa Rosullah SAW.
Contoh 1

Artinya: ….Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (Q.S al-Baqarah 275)
Ayat tersebut petunjuknya bahwa halalnya jual-beli dan haramnya riba, petunjuk tersebut di ambil dari lafazh itu sendiri, masing-masing dari lafazh al-Bay’ dan ar-Riba merupakan lafazh ‘amm yang mempunyai kemungkinan di takhsis. akan tetapi turunnya ayat ini bukan menjelaskan arti tersebut secara tekstual, turunnya ayat ini untuk menolak perkataan orang yang mengatakan bahwa jual-beli dan riba itu sama.
Contoh 2


Aritnya : …maka kawinlah wanita – wanita yang kamu senangi dua tiga atau empat, Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil maka seorang saja…(QS; An Nisa’ 3)
Zdahir ayat ini menerangkan kebolehan mengawini wanita yang halal karena langsung diambil dari kalimat boleh kawin dari wanita yang disenang, namun arti yang dimaksud dalam susunan kalimatnya adalah menetapkan jumah wanita yang boleh dikawini tidak melebihi dari empat dan jumlah seperti itu kalau tidak mampu adil sukup satu.
Hukum zhahir adalah bisa ditakwil yaitu memalingkan dari arti zhahirnya dan perlu makna lain, seperti ditakhsis apabila umum, ditakyit apabila mutlak, dan bisa diambil makna majaznya tapi bukan makna hakekatnya.
Ø  NASH
Nash menurut bahasa adalah munculnya segala sesuatu yang tampak. Oleh sebab itu, dalam mimbar nash ini sering disebut manashahat, sedangkan menurut istilah seperti yang dipaparkan oleh al-Baidawi “Nash mempunyai tambahan kejelasan”. Tambahan kejelasan tersebut tidak di ambil dati rumusan bahasanya, melainkan timbul dari pembicaraan sendiri yang bisa diketahui dengan korinah.
Contoh:                             


Aritnya : …maka kawinlah wanita – wanita yang kamu senangi dua tiga atau empat…(QS; An Nisa’ 3)
Nash menunjukkan jumlah maksimal istri empat orang karena arti yang seperti ini lanngsung dipahami dari lafal dan susunan kalimatnya. Contoh:

ومااتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا

Artinya : apa yang diberikan rasul kepada kamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah….(QS. Hasyr: 7)
Nash menunjukkan dalam pembagian ghanimah, apa yang di beri ambillah dan apa yang dilarang jangan diambil, arti yang dimaksud susunan kalimatnya.
Contoh:

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (al-Maidah : 38)
Hukum nash wajib selama belum ada petunjuk yang dapat dijadikan alasan untuk memalingkannya kearti yang lain dengan cara takwil dan dinasakh pada zaman Rasulullah saja.dan perbedaan antara zhahir dan nash adalah kemungkinan takwil,takhsis atau naskh pada lafazh nash lebih jauh dari kemungkinan yang terdapat pada lafazh zhahir oleh sebab itu apabila pertentangan antara lafazh zhahir dengan lafazh nash,maka nash lebih di dahulukan pemakaiannya dan wajib membawa lafazh zhahir pada lafazh nash.
Ø  MUFASSAR
Mufassar ialah lafal yang jelas petunjuknya kearah makna yang dimaksud sebagai tafsiran dan karenanya tidak mungkin lagi di takwil dan ditakhsis akan tetapi bisa dinaskh pada zaman Rosullah SAW.
Contoh:


Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera,(QS: An Nur 2)
Bilangan seratus dera yang disebutkan dalam nash tidak boleh lagi ditambah dan tidak boleh lagi dikurangi. Hukum yang diterangkan mufassar wajib diamalkan dan tidak boleh dipalingkan ke arti lain selama tidak ada petunjuk bahwa hukum itu dinasah
Contoh:.


Artinya: dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya(QS:At-taubah36)”
Pada lafazh al-musrikina di atas sebelum dimasuki lafazh kaffah kemungkinan bisa ditakhsis namun setalah dimasuki lafazh kaffah maka lafazh al-musrikina tiidak bisa lagi untuk ditakhsis,karna lafazh kaffah mehilangkan kemungkinan untuk ditakhsis
A. Macam-macam mufassar
1.Mufassar bidati yaitu lafazh yang jelas tanpa perlu hal lain untuk menjelaskannya.
2.Mufassar bigoirihi yaitu lafazh lafazh yang perlu penjelasan dari lafazh lain.
B. Hukum mufassar
Dilalah mufassar wajib diamalkan secara qath`i, sepanjang tidak ada dalil me-nasakh-nya. Lafazh mufassar tidak mungkin dipalingkan artinya dari dhahirnya, karena tidak munghkin di ta’wil dan di takhsis, melainkan hanya bias di-nasakh-kan atau di ubah apabila ada dalil yang mengubahnya.
Dengan demikian dilalah mufassar lebih kuat daripada dilalah zhahir dan dilalah nash. Oleh sebab itu apabila terjadi pertentangan antara dilalah mufassar dengan dilalah nash dan zhahir mak dilalah mufassar harus lebuh didahulukan.
Ø  MUHKAM
Muhkam menurut bahasa di ambil dari kata “Ahkama”, yang berarti “aqtana”, aqtana, yaitu pasti dan tegas. Sedangkan menurut istilah adalah “menolak adanya penakwilan dan adanya nasakh”. Maksudnya ialah lafal yang jelas petunjuknya dalam lafazh yang dikehendaki, yang tidak mungkin diganti atau ditakwilkan. Seperti bentuk dan jelas ibadah yang diwajibkan kepada umat islam, iman kepada Allah SWT dan Rasulnya dan semua nilai-nilai yang tidak mungkn berubah kendatipun berbeda ruang dan waktu seperti kewajiban menghormati orang tua dan berlaku adil.
Contoh


Artinya: “dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya”... (An Nur; 4)
Dilalah muhkam wajib diamalkan secara qat’i, tidak boleh dipalingkan dari lafazh asalnya dan tidak boleh di hapus. Oleh sebab itu dilalah muhkam lebih kuat daripada Lafazh muhkam tidak bisa ditakwil,ditakhsis dan dinaskh pada zaman Rosullah dan setelahnya






Tidak ada komentar:

Posting Komentar