Social Icons

Pages

Rabu, 01 Februari 2012

Ushul Fiqh


MEMAHAMI KONSEP IJTIHAD DAN TAQLID DENGAN BENAR
A.    PEMBAHASAN
Masalah ijtihad dan taqlid, merupakan salah satu isu besar yang direspons dengan antusiasme sangat tinggi di kalangan umat Islam. Betapa tidak, seluruh intelektual muslim terkemuka sejak abad ke-18 hingga ke-20 M, baik ulama reformis dan revivalis yang berideologi Islam, seperti Syah Waliyullah al-Dahlawi (1702-1762), maupun intelektual modernis berideologi sekuler, seperti Sayyid Ahmad Khan (1817-1898), senantiasa mendorong ijtihad di tengah umat dan bahkan mempraktikkannya. Semuanya sepakat ingin membuka dan bahkan mendobrak pintu ijtihad untuk mengatasi kemerosotan berpikir umat Islam yang telah berlangsung lama sejak ditutupnya pintu ijtihad pada abad ke-4 H.
Namun sejauh ini usaha itu nampaknya belum berhasil secara gemilang. Buktinya, secara kuantitas, praktik ijtihad masih langka. Mujtahid masih sangat sedikit di tengah-tengah umat. Secara kualitas pun, konsep ijtihad itu sendiri kadang dipahami secara kurang tepat dan bahkan dipahami secara salah.
Sejak jaman keemasan Islam pun, jumlah mujtahid memang relatif sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah ulama di bidang lainnya (hadits, tafsir, dan sebagainya). Hal ini wajar, sebab untuk menjadi seorang faqih (mujtahid) ilmu-ilmu yang harus dikuasainya sangat banyak sehingga tak banyak orang yang mau mencurahkan seluruh waktu hidupnya untuk menguasai ilmu-ilmu itu. Di masa kejayaan Islam itu, jumlah mujtahid kira-kira 10 % saja dari jumlah ulama di bidang-bidang ilmu keislaman lainnya. Abu Muhammad ar-Ramahurmuzy dalam kitab al-Fashil meriwayatkan dari Asy’at bin Anas bin Sirin,"Aku telah mendatangi kota Kufah maka aku lihat di dalamnya ada 4000 orang yang sedang mempelajari hadis, dan ada 400 orang yang menjadi faqih (mujtahid)."
Tentang konsep ijtihad itu sendiri, kadang-kadang ia dipahami secara kurang tepat, sehingga malah menjadi kontraproduktif dengan upaya menggalakkan ijtihad di tengah umat. Pada masa Imam Suyuthi (849-911 H), berkembang pesat paham yang mengatakan bolehnya zuatu zaman kosong dari adanya mujtahid. Maka dari itu, ketika Imam Suyuthi memproklamirkan kepada publik bahwa dirinya adalah seorang mujtahid, masyarakat awam pun tidak percaya dan bahkan mengecam beliau dengan keras. Imam Suyuthi pernah mengumumkan,"Sungguh telah sempurna padaku alat-alat untuk berijtihad, alhamdulillah. Kalau Anda menginginkan aku untuk menulis sebuah kitab untuk setiap masalah, lengkap dengan dalil-dalil naqli dan qiyasnya, disertai dasar-dasarnya, bantahan-bantahannya, jawaban-jawabannya, serta perbandingan pendapat di antara berbagai mazhab pada masalah itu, niscaya aku mampu untuk melakukannya, alhamdu lillah." (Imam Suyuthi, Husnul Muhadharah, Juz I hal. 339).
Imam Suyuthi pun kemudian meluruskan paham yang kurang tepat mengenai ijtihad tersebut dengan menjelaskan tidak bolehnya suatu zaman kosong dari mujtahid. Mujtahid wajib ada pada setiap masa. Beliau menulis kitab al-Radd ‘Ala Man Akhlada ila al-Ardh wa Jahila anna al-Ijtihad Fardhun fi Kulli ‘Ashrin (Bantahan Kepada Orang Yang Ingin Hidup Kekal di Bumi dan Tidak Tahu Bahwa Ijtihad Itu Fardhu Untuk Setiap Masa). Imam Suyuthi juga menulis kitab Taysir al-Ijtihad (Memudahkan Ijtihad), yang dimaksudkan agar umat tidak menganggap ijtihad sebagai hal yang super sulit, namun suatu hal yang mudah dan mungkin, selama syarat-syaratnya terpenuhi dengan sempurna.
Dalam kitab Taysir al-Ijtihad ini, Imam Suyuthi menukilkan beberapa riwayat yang menggugah. Antara lain beliau menukilkan perkataan Syaikh Muhibuddin (ayah Syaikh Taqiyuddin Ibnu Daqiqil ‘Ied) dalam kitabnya Talqih Al-Afham yang berkata,"Menjadi mujtahid telah dianggap berat pada masa sekarang ini. Hal itu bukanlah karena sulitnya mencari alat-alat ijtihad, melainkan karena berpalingnya manusia dari kesibukan yang akan menghantarkan mereka pada ijtihad." Imam Suyuthi juga menukilkan pendapat sebagian ulama yang menegaskan,"Ijtihad pada zaman ini (zaman Imam Suyuthi, red), lebih mudah daripada zaman permulaan Islam, sebab alat-alat ijtihad berupa hadits-hadits dan lain-lain telah dibukukan dan mudah untuk dirujuk. Ini beda dengan zaman permulaan Islam, sebab saat itu tak ada satu pun alat-alat ijtihad yang terbukukan." (Imam Suyuthi, Taysir al-Ijtihad, Makkah : Maktabah Tijariyah, hal. 28).
Pada masa sekarang, kesalahpahaman tentang ijtihad lebih gila lagi. Kini ada kesalahpahaman ekstrem tentang ijtihad yang didemostrasikan sangat gamblang oleh kelompok Islam liberal (sekuler). Ini menjadi bukti lain belum berhasilnya upaya melahirkan ijtihad yang sahih di tengah-tengah umat. Kesalahan ekstrem ini jelas hanya akan menyesatkan umat dari hakikat ijtihad yang sebenarnya.
Menurut kaum liberal, ijtihad bukan dipahami sebagai usaha sungguh-sungguh untuk mengistinbath hukum syariah dari dalil-dalil syariah, melainkan sebagai upaya untuk menyesuaikan hukum Islam dengan realitas masyarakat yang telah diformat dalam citra ideologi kontemporer (kapitalisme-sekuler). Taufik Adnan Kamal dan Samsu Rizal Panggabean mengatakan,"Dalam debat-debat modern, pentingnya aplikasi ijtihad dikaitkan dengan kemungkinan yang diberikannya untuk menyegarkan pemahaman Islam dan hukum Islam selaras dengan kondisi masyarakat kontemporer." (Politik Syariat Islam dari Indonesia Hingga Nigeria, Jakarta : Pustaka Alvabet,2004, hal. 196).
Benar bahwa ijtihad memang dimaksudkan untuk menghadapi tantangan zaman kekinian. Tapi bagi kaum liberal, ijtihad bukan dipahami sebagai upaya menghukumi realitas kontemporer dengan hukum Islam, melainkan upaya mengubah dan menyesuaikan hukum Islam agar cocok dengan realitas kontemporer. Dalam konsep ijtihad yang sahih, realitas tidak diasumsikan sebagai standar yang selalu dianggap benar. Sebab realitas itu bukanlah wahyu yang pasti benar, melainkan fakta yang tengah terjadi, yang bisa benar (sesuai wahyu) dan bisa juga tidak benar (menyimpang dari wahyu). Sebaliknya dalam benak kaum liberal, realitas telah dijadikan standar dan dianggap sebagai kebenaran mutlak, sedangkan wahyu diasumsikan sebagai sesuatu yang relatif dan harus mengikuti serta tunduk pada realitas itu.
Senapas dengan konsep ijtihad, konsep taqlid juga tak jarang kurang dipahami dengan baik oleh umat Islam. Tak jarang ulama memilih pendapat secara seenaknya tanpa kaedah dan tanpa standar. Fatwa ulama akhirnya ditundukkan kepada kepentingan dan hawa nafsu manusia. Kita masih ingat, pada pertengahan tahun 80-an, Prof KH Ibrahim Hosen LML (Komisi Fatwa MUI saat itu) mengeluarkan fatwa bolehnya judi undian PORKAS. Fatwa itu dimaksudkan untuk menyukseskan pembangunan, khususnya bidang olah raga. Padahal PORKAS jelas-jelas merupakan judi (maysir) yang haram hukumnya.
Selain itu, paham relativisme yang banyak bercokol di benak kaum liberal, menambah parah kesalahpahaman seputar taqlid ini."Semua adalah relatif (All is relative)," begitulah slogan mereka. Padahal slogan ini bukan dari ulama apalagi dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, melainkan dari Michael Fackerrell, seorang missionaris Kristen asal Amerika Serikat (Hamid Fahmi Zarkasyi, "Kebenaran", Majalah Islamia, Vol III, No. 1, Th 2006).
Paham relativisme Kristiani itu akhirnya dimasukkan ke dalam wacana keislaman, lalu dihasilkan dikotomi begini : yang berasal dari Tuhan, absolut kebenarannya. Sedang kalau dari manusia, sifatnya relatif, siapa pun juga manusia itu. Maka pemahaman Imam Syafii, Imam Maliki, atau imam siapa pun, semua relatif. Dan karena semuanya relatif, kita boleh memilih atau bahkan membuang pendapat mereka dengan bebas.
Tentu saja kaedah taqlid gaya liberal dengan dikotomi absolut-relatif itu tidaklah benar. Sebab bahwasanya Tuhan itu Maha Mengetahui dan pengetahuan-Nya absolut benar, itu sudah jelas. Maka tak perlu dimasukkan dalam dikotomi. Sebab dikotomi yang seharusnya kita miliki adalah dikotomi untuk pendapat di antara manusia, bukan antara "pendapat" Tuhan dan pendapat manusia. Selain itu, dikotomi sebelumnya itu sungguh tidak adil, karena meletakkan semua pendapat manusia dalam posisi yang sama (sama-sama relatif). Maka, dikotomi yang benar adalah, ada pendapat ulama yang benar dan kuat (yang layak ditaqlidi), dan ada pendapat ulama yang salah atau lemah (yang tidak layak ditaqlidi). Itulah dikotomi yang benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar